IDEALIS SEBUAH IJASAH
“Wisudawan
Anggrit Sastrawijaya, dengan IPK 3,60.” Masih terngiang-ngiang di otak saat
memegang ijasah S1 yang baru saja kuperoleh satu bulan lalu. Jerih payah empat
tahun. Semua diakumulasikan dalam sebuah kertas dan angka.
“Dengar,
Nggrit! Kamu harus jadi guru di sekolah internasional! Kamu harus membuat kami
bangga! Semua orang akan kagum dengan segala potensi dan kemampuan kamu sebagai
guru!” Seorang wanita tengah baya duduk di hadapanku.
“Hemh
. . .”
“Jangan
bilang kalau kamu mau mengabdikan diri di sekolah yang kualitasnya ada di bawah
sekolah internasional. Dan sekolah mama adalah sekolah berbasis internasional!”
Aku diam, memandang mama yang kini tengah menunggu suaraku.
“Ma,
Anggrit ingin . . .”
“Mama
tahu kamu itu aktivis. Mama juga tau idealismemu besar. Tapi kamu harus melihat
realita di sekitar kita. Jarang ada yang mendapat kesempatan kerja dengan
begitu mudah tanpa seleksi seperti kamu!” Mataku bergerak langsung menatapnya.
Apa maksudnya ini?
“Dengar!”
“Negara
ini perlu pembenahan dan pembuktian! Pembenahan sistem pendidikan dan
pembuktian kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kualitas guru yang sama dengan
mereka! Bahkan lebih! Bukan hanya negara yang hanya bisa memproduksi TKW atau
TKI. Tapi juga orang-orang hebat! Seperti kamu dan mama.” Aku mendengus kesal.
“Jadi
menurut mama, mereka tidak hebat? Dan hanya orang-orang seperti mamalah yang
pantas disebut hebat?” Mama melengos kesal. Ia mengelus dada. Mungkin meredam
segala gemuruh yang sudah dipendam lama. Tanpa pernah terucapkan.
“Kamu
memiliki pengalaman dan prestasimu yang begitu baik. Kamu bisa bersaing dengan
guru bahkan dosen dari luar negeri. Membuktikan bahwa yang berkualitas bukan
hanya dari luar negeri saja! Itu maksud mama. Mama ingin kamu bersaing dengan
mereka. Orang-orang yang dinobatkan hebat oleh dunia. Sehingga merekapun akan
melihatmu. Dan mengakuimu sebagai orang hebat pula!” Mama terengah-engah
mengakhiri kalimatnya. Beliau tidak menghiraukanku yang sudah pusing dan jengah
dengan penjelasannya. Andai kau bukan mamaku. Sungguh. Aku akan mematahkan
semua kata-katamu. Namun semua beku dengan kalimat penutupnya.
“Mama
bisa membuat kesempatan emas itu untukmu.”
# # #
Aku
berdiri di hadapan lelaki yang tidak menyadari kehadiranku. Terlalu asik
membaca berkas yang entah tentang apa.
“Selamat
pagi, bapak kepala sekolah.” Lelaki itu merasa terusik. Dengan malas ia
menengadahkan kepala. Ia memandangku lama hingga senyuman bangga mengembang di
bibirnya.
“Bagaimana
tawaran papa?” Aku memalingkan muka, terlihat taman yang persis ada di samping
kantor.
“Apa
tidak ada topik yang lebih menarik daripada tawaran itu lagi?” Papa tertawa
terbahak-bahak sambil mengepulkan asap rokoknya. Aku memandang tajam,
mengartikan arti tawanya.
“Tidak
usah mencoba membaca setiap tingkah laku papa. Kamu seperti mamamu.” Katanya
masih dengan gelak tawa yang menurutku sangat jelek. Aku mulai
bersungguh-sungguh mendelik padanya.
“Bukankah
kalian yang mengajarkan seperti ini padaku?” Lama kutamati piagam-piagam yang
dipajang di ruangannya.
“Sepertinya
kamu lebih cerdik daripada kami.”
“Apa
gunanya lebih cerdik bila hanya menjadi sebuah boneka saja?” Senyumku terurai
memandangnya. Ia menghembuskan nafas dalam.
“Papa
betul-betul penasaran. Apakah kamu bisa membuktikan idealisme yang dulu kamu
gembar-gemborkan ketika demo mahasiswa.”
Aku
tidak harus menjawab tantangan itu. Hanya suara derik pintu ruangan ini yang
menjawabnya. Saat ini yang terpenting hanya sebuah pembuktian, bukan hanya
kata-kata.
# # #
“Kak,
minta pulsa dong!”
“Hah?
Pulsa?” Gadis itu meringis sambil menunjukkan saldo Rp 40 di hp nya.
“De,
kamu kan udah dijatah papa mama, terus kenapa masih minta kakak? Buat beli
softek aja kakak masih minta papa mama!” kataku pada Fitri yang membongkar
dompetku.
“Ah!
Kakak payah! Apa gunanya ijasah S1 dan cumlaude?”
Deg!
Aku terdiam memandang sosok di hadapanku.Ia memainkan dompetku.
Menimang-nimangnya.
“Fitri
tahu kakak ditawari pekerjaan sama papa mama. Kenapa tidak diterima? Salah satu
atau dua-duanya.” Cuek, sangat cuek sikapnya.
“Siapa
yang ngajarin kamu bicara tajam seperti itu?” Ia mengangkat bahu.
“Buat
aksi kaya dulu dong kak! Aku ingin cerita lagi ke teman-teman. Dulu aku sering membanggakan
kalau kakakku itu mahasiswa yang sering demo, pintar. Yang jadi asisten dosen.
Dan yang terpenting adalah cumlaude.” Lembar demi lembar majalah dibukanya
tanpa menghiraukanku yang jengah dengan setiap komentarnya.
“Buat
aku bangga seperti dulu dong kak. Dulu kakak itu seperrti burung rajawali. Kuat
dan kok . . .”
“Kokoh
dan punya pekerjaan bergengsi! Punya mobil! Rumah tingkat! Apalagi? Uang
banyak? Lalu?!” Ia melongo melihatku yang mulai emosi.
“Kenapa
si? Aku tidak punya hak untuk hidupku sendiri? Atau aku harus hengkang dari
rumah ini supaya kalian tidak memintaku jadi ini dan itu?” Ia menelan ludahnya.
Kami berpandangan lama.
“Bukan
itu maksudku…”
“Lalu?”
“Kami
hanya ingin yang terbaik untukmu…” Aku mengernyit.
“Untukku?
Atau kalian?” Aku meremas bajuku. Berharap semuanya tak keluar seperti letusan
gunung berapi.
“Hari
ini pekerjaan! Besok lagi apa? Menikah? Dan kalian akan meminta jodoh yang bisa
membuat kalian bangga!?” Terlambat. Semua sudah terlambat. Sudah terlalu lama
aku memendam. Dan hari ini adalah letusannya.
“Untuk
kalian. Bukan untukku!” Kami berpandangan. Air matanya menetes. Wajahnya kelu,
sedih akan keadaan kakaknya.
“Kenapa?”
Seakan ia sedang berbicara pada angin.
“Kenapa
kakak tak pernah mengatakan itu pada papa mama? Kenapa kakak hanya diam! Kenapa
kakak hanya berani mengungkapkan ini pada Fitri? Atau kakak hanya berani di
luar? Tapi sama sekali tidak bisa apa-apa saat di keluarga?” Ia
menggeleng-geleng. Senyumannya menunjukkan kekecewaannya padaku.
”Kakak
pengecut! Gadaikan saja tittle sarjana dan cumlaudemu!” Ia meninggalkanku
sendiri. Suara hantaman majalah terdengar seperti halilintar di kupingku. Aku
tertohok. Aku…tidak bisa berbuat apa-apa…di hadapan keluarga.
“Aku
. . . hanya . . .” Bahkan untuk membela diri sendiripun aku tak sanggup. Aku
menangis, tanpa tahu apa yang ditangisi.
“Aku
lelah . . . hanya lelah . . .”
# # #
Fitri
mengadukan semua kejadian malam itu pada papa dan mama. Dan di sinilah aku,
sebagai terdakwa yang divonis bersalah oleh orang tua, bahkan saudara kecilku.
“Dengar,
Anggrit!”
“Mama
papa dan adikmu tidak bermaksud menuntutmu atau menjadikanmu sebagai boneka
yang harus membuat kami bangga. Kami hanya ingin kamu berguna! Bagi orang di
sekitarmu! Cuma itu!”
“Bicaralah”
Suaranya terdengar berat. Seberat pandangannya yang begitu menohokku. Papa. Aku
masih diam, menunduk tak berani menatap orang-orang di hadapanku.
“Apakah
kami terlalu muluk untuk memintamu menjadi seperti itu. Mama Cuma ingin kamu memanfaatkan
tittle dan cumlaudemu itu. Apa kata orang jika kamu bekerja di tempat yang
tidak bonafit. Sedangkan mama bisa memberikan semua fasilitas dan pekerjaan itu
di sekolah yang mama pimpin!”
“Apa
maksudmu?” Taanya papa penasaran
“Ya!
Aku ingin dia mengajar di sekolahku. Sekolah terbaik di Indonesia. Dia akan
bersaing dengan guru-guru dari luar negeri!”
“Tidak
bisa!” Sergah ayah. Mama memandangnya sinis.
“Lalu?
Kau ingin ia bekerja di sekolahmu? Sekolah yang hanya mengandalkan dana dari
pemerintah?” Aku tersenyum mendengarnya. Akan dimulai . . .
“Lalu
kau pikir kualitas sekolahmu lebih baik daripada sekolahku?” Mama tersenyum.
“Tidak
perlu dijelaskan. Betul kan Fitri? Anggrit?” Mama menoleh pada kami.
“Begitu
merendahkannya kau! Apa kau pikir terbaik menurut pandanganmu adalah segalanya?
Dan yang lain tidak. You are the best and other is the beast?”
“Mari
kita membicarakan kenyataan, papa!”
“Lalu
dengan kenyataan itulah, kau meremehkan yang lain?”
“Aku
tidak meremehkan. Aku hanya membuka matamu!”
Brakkk!!!
Suara gebrakan pintu mengagetkan mereka. Adikku lari dari pertengkaran tak
berguna. Aku memandang mereka. Sudah bertahun-tahun mereka selalu bertengkar.
Mendebatkan hal yang tidak akan ada habisnya. Rumah ini terlihat tenang tapi
sangat tegang. Aku dan Fitri merasakan betapa pekat persaingan antara mereka
berdua. Mendewakan prinsipnya masing-masing tanpa mengindahkan yang lain.
Perbedaan adalah sesuatu yang tabu untuk mereka.
Mereka
masih bersitegang dengan lontaran kata-kata yang tak ada hentinya. Seperti
desingan peluru yang bertebaran di atas kepalaku. Apakah mereka tidak merasa
sedih? Dengan menyerang satu sama lain seperti itu. Atau mereka sudah saling
beku?
“Inikah
yang kalian maksud dengan ‘yang terbaik untuk kami’?” Keluku sangat amat kelu
dengan kondisi mereka.
“Kalian
orang tua menginginkan kami untuk berbicara. Tapi apakah pernah kalian
memberikan kami kesempatan untuk bicara? Kalian menginginkan kami memilih apa
yang kami suka. Tapi pernahkah kalian memberi kami kesempatan untuk bicara?”
“Apa
maksudmu, Anggrit?” Mama semakin terbakar.
“Mama
tahu maksudku sejak dulu. Sangat tahu.” Mereka terdiam. Tak ada sepatah kata
yang menyanggah untuk membela.
“Akuilah.
Yang kalian perjuangkan bukan untuk kami. Tapi untuk kalian sendiri.”
Kutinggalkan mereka berdua dalam kebisuan masing-masing. Mereka layaknya
patung, yang bisu kelu. Tak bisa bergerak. Dikarenakan malu.
#
# #
Tiga
hari telah berlalu. Dan kami tetap membisu. Keluarga ini hanya keluarga kecil,
tapi begitu besar kerumitannya. Suasana semakin kikuk dan asing. Ingin ku
pergi. Tapi haruskah aku menyerah sekarang? Dan menyerah pada keluarga sendiri?
Sedangkan aku sangat menuntut pada masyarakat?
Dan
seperti kemarin. Kami berkumpul kembali di ruangan yang sama.
“Anggrit
tahu, setiap orang tua ingin anaknya berharga di tengah-tengah masyarakat.”
Suaraku terdengar nyaring tanpa celah.
“Anggrit
sudah putuskan. Aku tidak akan bekerja di sekolah mama.” Papa tersenyum dengan
penuh kemenangan.
“Ataupun
sekolah papa . . .” Dan senyumannya menghilang.
“Bila
mama papa berfikir bahwa Anggrit miilik kalian, lalu kalian berhak menentukan
segalanya. Tidak! Itu salah! Aku adalah aku. Dan aku berhak untuk
mempertimbangkan dan menentukan apa yang akan kuputuskan” Terangku mantap.
“Ini
adalah hidupku. Dan akulah yang berhak untuk menentukan apa yang akan aku
lakukan dan pilih. Aku juga bukan manusia sempurna, Fitri. Kakak hanya berusaha
yang terbaik. Urusan benar atau tidaknya. Itu bukan urusanku lagi. Dan bukan
urusanmu lagi. Kita bukan hakim” Kutatap Fitri yang entah mengerti atau tidak
tentang semua pembicaraan ini.
“Kalian
ingin aku menunjukkan idealisku. Dan saat inilah waktu yang tepat untuk
menunjukkan idealisku.” Kupandang mereka satu per satu. “Aku akan menentukan
langkahku sendiri. Bukan mama atau papa yang aku pilih. Tapi diriku sendiri.”
Aku mengecup mereka, orang-orang yang kusayang. Memeluk mereka yang
kebingungan. Tanda tanya bergemuruh di otaknya.
“Anggrit
sayang kalian semua.” Kulangkahkan kaki mantap, meninggalkan mereka yang
kusayang. Rasa sayang ini semakin menjadi-jadi saat kami berpisah.
“Aku
akan membuat kesempatanku sendiri.” Ucapku mengakhiri segala keruwetan di rumah
ini.
“Kakak!”
Kali ini aku tidak membalikkan tubuh. Hanya memberhentikan langkahku untuk yang
terakhir kali.
“Fitri bangga sama
kakak.” Aku tersenyum. Bukan karena gelar S1 yang menggelantung di belakang
namanku. Toh aku tidak akan menggunakan embel-embel itu. Aku tersenyum karena
aku telah berani memutuskan proses hidupku. Dan menyampaikan hal itu pada
keluargaku.
No comments:
Post a Comment