Pages

Tuesday, August 18, 2015

IDEALIS SEBUAH IJASAH



IDEALIS SEBUAH IJASAH

“Wisudawan Anggrit Sastrawijaya, dengan IPK 3,60.” Masih terngiang-ngiang di otak saat memegang ijasah S1 yang baru saja kuperoleh satu bulan lalu. Jerih payah empat tahun. Semua diakumulasikan dalam sebuah kertas dan angka.
“Dengar, Nggrit! Kamu harus jadi guru di sekolah internasional! Kamu harus membuat kami bangga! Semua orang akan kagum dengan segala potensi dan kemampuan kamu sebagai guru!” Seorang wanita tengah baya duduk di hadapanku.
“Hemh . . .”
“Jangan bilang kalau kamu mau mengabdikan diri di sekolah yang kualitasnya ada di bawah sekolah internasional. Dan sekolah mama adalah sekolah berbasis internasional!” Aku diam, memandang mama yang kini tengah menunggu suaraku.
“Ma, Anggrit ingin . . .”
“Mama tahu kamu itu aktivis. Mama juga tau idealismemu besar. Tapi kamu harus melihat realita di sekitar kita. Jarang ada yang mendapat kesempatan kerja dengan begitu mudah tanpa seleksi seperti kamu!” Mataku bergerak langsung menatapnya. Apa maksudnya ini?
“Dengar!”
“Negara ini perlu pembenahan dan pembuktian! Pembenahan sistem pendidikan dan pembuktian kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kualitas guru yang sama dengan mereka! Bahkan lebih! Bukan hanya negara yang hanya bisa memproduksi TKW atau TKI. Tapi juga orang-orang hebat! Seperti kamu dan mama.” Aku mendengus kesal.
“Jadi menurut mama, mereka tidak hebat? Dan hanya orang-orang seperti mamalah yang pantas disebut hebat?” Mama melengos kesal. Ia mengelus dada. Mungkin meredam segala gemuruh yang sudah dipendam lama. Tanpa pernah terucapkan.
“Kamu memiliki pengalaman dan prestasimu yang begitu baik. Kamu bisa bersaing dengan guru bahkan dosen dari luar negeri. Membuktikan bahwa yang berkualitas bukan hanya dari luar negeri saja! Itu maksud mama. Mama ingin kamu bersaing dengan mereka. Orang-orang yang dinobatkan hebat oleh dunia. Sehingga merekapun akan melihatmu. Dan mengakuimu sebagai orang hebat pula!” Mama terengah-engah mengakhiri kalimatnya. Beliau tidak menghiraukanku yang sudah pusing dan jengah dengan penjelasannya. Andai kau bukan mamaku. Sungguh. Aku akan mematahkan semua kata-katamu. Namun semua beku dengan kalimat penutupnya.
“Mama bisa membuat kesempatan emas itu untukmu.”

# # #

Aku berdiri di hadapan lelaki yang tidak menyadari kehadiranku. Terlalu asik membaca berkas yang entah tentang apa.
“Selamat pagi, bapak kepala sekolah.” Lelaki itu merasa terusik. Dengan malas ia menengadahkan kepala. Ia memandangku lama hingga senyuman bangga mengembang di bibirnya.
“Bagaimana tawaran papa?” Aku memalingkan muka, terlihat taman yang persis ada di samping kantor.
“Apa tidak ada topik yang lebih menarik daripada tawaran itu lagi?” Papa tertawa terbahak-bahak sambil mengepulkan asap rokoknya. Aku memandang tajam, mengartikan arti tawanya.
“Tidak usah mencoba membaca setiap tingkah laku papa. Kamu seperti mamamu.” Katanya masih dengan gelak tawa yang menurutku sangat jelek. Aku mulai bersungguh-sungguh mendelik padanya.
“Bukankah kalian yang mengajarkan seperti ini padaku?” Lama kutamati piagam-piagam yang dipajang di ruangannya.
“Sepertinya kamu lebih cerdik daripada kami.”
“Apa gunanya lebih cerdik bila hanya menjadi sebuah boneka saja?” Senyumku terurai memandangnya. Ia menghembuskan nafas dalam.
“Papa betul-betul penasaran. Apakah kamu bisa membuktikan idealisme yang dulu kamu gembar-gemborkan ketika demo mahasiswa.”
Aku tidak harus menjawab tantangan itu. Hanya suara derik pintu ruangan ini yang menjawabnya. Saat ini yang terpenting hanya sebuah pembuktian, bukan hanya kata-kata.

# # #

“Kak, minta pulsa dong!”
“Hah? Pulsa?” Gadis itu meringis sambil menunjukkan saldo Rp 40 di hp nya.
“De, kamu kan udah dijatah papa mama, terus kenapa masih minta kakak? Buat beli softek aja kakak masih minta papa mama!” kataku pada Fitri yang membongkar dompetku.
“Ah! Kakak payah! Apa gunanya ijasah S1 dan cumlaude?”
Deg! Aku terdiam memandang sosok di hadapanku.Ia memainkan dompetku. Menimang-nimangnya.
“Fitri tahu kakak ditawari pekerjaan sama papa mama. Kenapa tidak diterima? Salah satu atau dua-duanya.” Cuek, sangat cuek sikapnya.
“Siapa yang ngajarin kamu bicara tajam seperti itu?” Ia mengangkat bahu.
“Buat aksi kaya dulu dong kak! Aku ingin cerita lagi ke teman-teman. Dulu aku sering membanggakan kalau kakakku itu mahasiswa yang sering demo, pintar. Yang jadi asisten dosen. Dan yang terpenting adalah cumlaude.” Lembar demi lembar majalah dibukanya tanpa menghiraukanku yang jengah dengan setiap komentarnya.
“Buat aku bangga seperti dulu dong kak. Dulu kakak itu seperrti burung rajawali. Kuat dan kok . . .”
“Kokoh dan punya pekerjaan bergengsi! Punya mobil! Rumah tingkat! Apalagi? Uang banyak? Lalu?!” Ia melongo melihatku yang mulai emosi.
“Kenapa si? Aku tidak punya hak untuk hidupku sendiri? Atau aku harus hengkang dari rumah ini supaya kalian tidak memintaku jadi ini dan itu?” Ia menelan ludahnya. Kami berpandangan lama.
“Bukan itu maksudku…”
“Lalu?”
“Kami hanya ingin yang terbaik untukmu…” Aku mengernyit.
“Untukku? Atau kalian?” Aku meremas bajuku. Berharap semuanya tak keluar seperti letusan gunung berapi.
“Hari ini pekerjaan! Besok lagi apa? Menikah? Dan kalian akan meminta jodoh yang bisa membuat kalian bangga!?” Terlambat. Semua sudah terlambat. Sudah terlalu lama aku memendam. Dan hari ini adalah letusannya.
“Untuk kalian. Bukan untukku!” Kami berpandangan. Air matanya menetes. Wajahnya kelu, sedih akan keadaan kakaknya.
“Kenapa?” Seakan ia sedang berbicara pada angin.
“Kenapa kakak tak pernah mengatakan itu pada papa mama? Kenapa kakak hanya diam! Kenapa kakak hanya berani mengungkapkan ini pada Fitri? Atau kakak hanya berani di luar? Tapi sama sekali tidak bisa apa-apa saat di keluarga?” Ia menggeleng-geleng. Senyumannya menunjukkan kekecewaannya padaku.
”Kakak pengecut! Gadaikan saja tittle sarjana dan cumlaudemu!” Ia meninggalkanku sendiri. Suara hantaman majalah terdengar seperti halilintar di kupingku. Aku tertohok. Aku…tidak bisa berbuat apa-apa…di hadapan keluarga.
“Aku . . . hanya . . .” Bahkan untuk membela diri sendiripun aku tak sanggup. Aku menangis, tanpa tahu apa yang ditangisi.
“Aku lelah . . . hanya lelah . . .”

# # #

Fitri mengadukan semua kejadian malam itu pada papa dan mama. Dan di sinilah aku, sebagai terdakwa yang divonis bersalah oleh orang tua, bahkan saudara kecilku.
“Dengar, Anggrit!”
“Mama papa dan adikmu tidak bermaksud menuntutmu atau menjadikanmu sebagai boneka yang harus membuat kami bangga. Kami hanya ingin kamu berguna! Bagi orang di sekitarmu! Cuma itu!”
“Bicaralah” Suaranya terdengar berat. Seberat pandangannya yang begitu menohokku. Papa. Aku masih diam, menunduk tak berani menatap orang-orang di hadapanku.
“Apakah kami terlalu muluk untuk memintamu menjadi seperti itu. Mama Cuma ingin kamu memanfaatkan tittle dan cumlaudemu itu. Apa kata orang jika kamu bekerja di tempat yang tidak bonafit. Sedangkan mama bisa memberikan semua fasilitas dan pekerjaan itu di sekolah yang mama pimpin!”
“Apa maksudmu?” Taanya papa penasaran
“Ya! Aku ingin dia mengajar di sekolahku. Sekolah terbaik di Indonesia. Dia akan bersaing dengan guru-guru dari luar negeri!”
“Tidak bisa!” Sergah ayah. Mama memandangnya sinis.
“Lalu? Kau ingin ia bekerja di sekolahmu? Sekolah yang hanya mengandalkan dana dari pemerintah?” Aku tersenyum mendengarnya. Akan dimulai . . .
“Lalu kau pikir kualitas sekolahmu lebih baik daripada sekolahku?” Mama tersenyum.
“Tidak perlu dijelaskan. Betul kan Fitri? Anggrit?” Mama menoleh pada kami.
“Begitu merendahkannya kau! Apa kau pikir terbaik menurut pandanganmu adalah segalanya? Dan yang lain tidak. You are the best and other is the beast?”
“Mari kita membicarakan kenyataan, papa!”
“Lalu dengan kenyataan itulah, kau meremehkan yang lain?”
“Aku tidak meremehkan. Aku hanya membuka matamu!”
Brakkk!!! Suara gebrakan pintu mengagetkan mereka. Adikku lari dari pertengkaran tak berguna. Aku memandang mereka. Sudah bertahun-tahun mereka selalu bertengkar. Mendebatkan hal yang tidak akan ada habisnya. Rumah ini terlihat tenang tapi sangat tegang. Aku dan Fitri merasakan betapa pekat persaingan antara mereka berdua. Mendewakan prinsipnya masing-masing tanpa mengindahkan yang lain. Perbedaan adalah sesuatu yang tabu untuk mereka.
Mereka masih bersitegang dengan lontaran kata-kata yang tak ada hentinya. Seperti desingan peluru yang bertebaran di atas kepalaku. Apakah mereka tidak merasa sedih? Dengan menyerang satu sama lain seperti itu. Atau mereka sudah saling beku?
“Inikah yang kalian maksud dengan ‘yang terbaik untuk kami’?” Keluku sangat amat kelu dengan kondisi mereka.
“Kalian orang tua menginginkan kami untuk berbicara. Tapi apakah pernah kalian memberikan kami kesempatan untuk bicara? Kalian menginginkan kami memilih apa yang kami suka. Tapi pernahkah kalian memberi kami kesempatan untuk bicara?”
“Apa maksudmu, Anggrit?” Mama semakin terbakar.
“Mama tahu maksudku sejak dulu. Sangat tahu.” Mereka terdiam. Tak ada sepatah kata yang menyanggah untuk membela.
“Akuilah. Yang kalian perjuangkan bukan untuk kami. Tapi untuk kalian sendiri.” Kutinggalkan mereka berdua dalam kebisuan masing-masing. Mereka layaknya patung, yang bisu kelu. Tak bisa bergerak. Dikarenakan malu.

# # #
Tiga hari telah berlalu. Dan kami tetap membisu. Keluarga ini hanya keluarga kecil, tapi begitu besar kerumitannya. Suasana semakin kikuk dan asing. Ingin ku pergi. Tapi haruskah aku menyerah sekarang? Dan menyerah pada keluarga sendiri? Sedangkan aku sangat menuntut pada masyarakat?
Dan seperti kemarin. Kami berkumpul kembali di ruangan yang sama.
“Anggrit tahu, setiap orang tua ingin anaknya berharga di tengah-tengah masyarakat.” Suaraku terdengar nyaring tanpa celah.
“Anggrit sudah putuskan. Aku tidak akan bekerja di sekolah mama.” Papa tersenyum dengan penuh kemenangan.
“Ataupun sekolah papa . . .” Dan senyumannya menghilang.
“Bila mama papa berfikir bahwa Anggrit miilik kalian, lalu kalian berhak menentukan segalanya. Tidak! Itu salah! Aku adalah aku. Dan aku berhak untuk mempertimbangkan dan menentukan apa yang akan kuputuskan” Terangku mantap.
“Ini adalah hidupku. Dan akulah yang berhak untuk menentukan apa yang akan aku lakukan dan pilih. Aku juga bukan manusia sempurna, Fitri. Kakak hanya berusaha yang terbaik. Urusan benar atau tidaknya. Itu bukan urusanku lagi. Dan bukan urusanmu lagi. Kita bukan hakim” Kutatap Fitri yang entah mengerti atau tidak tentang semua pembicaraan ini.
“Kalian ingin aku menunjukkan idealisku. Dan saat inilah waktu yang tepat untuk menunjukkan idealisku.” Kupandang mereka satu per satu. “Aku akan menentukan langkahku sendiri. Bukan mama atau papa yang aku pilih. Tapi diriku sendiri.” Aku mengecup mereka, orang-orang yang kusayang. Memeluk mereka yang kebingungan. Tanda tanya bergemuruh di otaknya.
“Anggrit sayang kalian semua.” Kulangkahkan kaki mantap, meninggalkan mereka yang kusayang. Rasa sayang ini semakin menjadi-jadi saat kami berpisah.
“Aku akan membuat kesempatanku sendiri.” Ucapku mengakhiri segala keruwetan di rumah ini.
“Kakak!” Kali ini aku tidak membalikkan tubuh. Hanya memberhentikan langkahku untuk yang terakhir kali.
“Fitri bangga sama kakak.” Aku tersenyum. Bukan karena gelar S1 yang menggelantung di belakang namanku. Toh aku tidak akan menggunakan embel-embel itu. Aku tersenyum karena aku telah berani memutuskan proses hidupku. Dan menyampaikan hal itu pada keluargaku.

No comments:

Post a Comment