Pages

Friday, December 26, 2014

TEMPE MENTAH UNTUK PAYUDARAMU



“Mari bu! Tempe tempe! baru jadi! Mari mari! Murah! Bagus tempenya!”
“Berapa mbak?”
“Dua ribu saja ko bu.”
“Wah? Murah sekali ya. Bagaimana kalau sepuluh ribu saja?”
“Ha??!!”
“Tentu saja. mbak terlalu murah menjual tempe ini. Tentu mbak harus bersusah payah untuk membuatnya.”
“Ah! Ibu sangat pengertian!”
“Seribu lima ratus deh!”
Khayalanku buyar bersamaan dengan suara cempreng yang menawar harga sangat menyiksa batin.
“Ya bu, jangan segitu juga. Modalnya saja belum balik.” Ibu itu merengut.
“Ya sudah saya beli dua. Tapi diskon lima ratus ya!”
Duh Gusti! Apakah mereka tidak tahu proses membuat tempe ini. Lima ratus perak untuk mereka adalah sesuatu yang gampang diperoleh. Tapi bagi kami? Para penjual?
“Kata sape?! Itu kan menurut lu! Kalau emang lima ratus itu gampang buat guwe. Kenapa susah-susah guwe tawar dari tadi!” Mata isi ibu mendelik sembari berkata-kata dalam hati.
Entah siapa yang di perdaya, siapa yang memperdaya. Posisi kami sama-sama sulit. Jadi, saling pengertian adalah hal paling tepat yang dapat dilakukan untuk meredam semua kekecewaan akan lima ratus rupiah.
“Ayo ayo! Tempenya hangat, bu! Beli dua diskon lima ratus rupiah!!”
·          
“Kakak kakak…”
“Ya cantik, ada apa?”
“Hari ini, ada tugas menceritakan sesuatu yang berharga untuk diri sendiri. Si Ani cerita kalau yang berharga untuk dia adalah Hp BB yang baru dibelikan mamanya.” Sekilas kulirik adikku yang terus menguleni kedelai.
“Lalu?”
“Kalau Robby, uang jajan sepuluh ribu setiap hari, kak!!” Matanya berbinar diikuti rasa penasaranku pada setiap laporannya.
“Lalu bagaimana dengan kamu?” Adikku menghela nafas. Dan aku yakin ia menginginkan benda yang dimiliki teman-temannya. Tiba-tiba ia berlari ke tengah dapur, berdiri tegap seakan-akan berada di depan kelas.
“Sesuatu yang berharga untukku adalah…kakak!! Kakak sangat menyayangiku. Kakak tidak pernah mengeluh walau aku tahu kalau kakak sangat cape. Walaupun kakak hanya seorang pembuat tempe. Tapi untuk Fitri, kakak pengusaha kaya. Kakak tidak akan kehabisan semangat, usaha dan sayangnya untuk Fitri. Dan nama kakakku adalah Kak Rini!!!”
Mulutku menganga! Tanganku gemetar! Dan air mataku … meleleh.
“Apa apaan ini?!” Ucapku dalam hati. Bagaimana mungkin dengan sekokoh itu ia menceritakan dan membanggakanku, kakaknya yang hanya seorang pembuat tempe, di hadapan teman-temannya? Bagaimana mungkin ia masih bisa tersenyum? Bagaimana mungkin?? Duh Gustiiiiiii!!! Entah kebahagiaan apa yang kurasa. Aku hanya tertunduk menguleni kedelai yang hampir hancur.

·          
“Kakak kakak!!”
“Apa, cantik?” Kali ini tangan kami tidak sibuk menguleni kedelai.
“Aku boleh tidak minta miniset?” Pertanyaan lugunya membuat bola mataku tak berkedip seketika, lalu bergerak ke arah dadanya yang datar tanpa benjolan sedikitpun.
“U-n-t-u-k   a-p-a?” Wajahnya tiba-tiba bersemu merah sambil menutupi dadanya yang ahhhhh …
“Dada Fitri sudah membesar, kak.” suaranya lirih menahan malu. Agak ragu-ragu aku menyentuh dada adik kecilku. Dan…
“WOW!!?? Memang ada benjolan!!” jeritku dalam hati.
Aku menatap adikku tak percaya. Aku hanya memberi makan tempe, tahu atau kerupuk. Sekalipun tak ada daging yang tentu akan berdampak pada perkembangan hormonnya. Tapi apa ini? Sebegitu cepatkah perkembangan anak zaman sekarang? Mengingat aku baru mengenal miniset saat SMA. Atau akukah yang terlalu lambat?
“Iya kan hehehehe. Tapi kak, aku bingung deh.” Secepat kilat aku menengok ke arahnya lagi. Khawatir akan kejutan lain yang akan diberitahukannya padaku. Misalnya seperti, “kok aku ha…“
“Hanya punya satu dada yang besar?”
“HAA??!!” Tak sadarkan diri, tubuhku langsung bangkit mendengar laporannya.
“Ini liat deh kak. Yang kanan dadanya sudah menonjol. Tapi yang kiri kok rata begini? Ini kak! Tuh liat deh! Iya kan? Dulu kakak begini juga ga?” Tiba-tiba semua kata tak terdengar lagi oleh indra pendengarku. Suara jantungku berpacu lebih kencang saat menatap dadanya yang aneh. Mataku bergerak dari dada kanan ke kiri. Kiri ke kanan. Kanan dan berakhir di kiri. Dan aku hanya terduduk lemas melihatnya yang tetap sangat berbahagia menyambut kedewasaannya yang telah tiba.
·          
“Positif. Ini tumor payudara. Namun belum berakar. Jinak. Dengan ukuran 5 cm x 4 cm x 5 cm.”
Kami terdiam, aku dan adikku. Namun keterdiaman kami jelas berbeda. Adikku terdiam akan ketidakmengertiannya. Dan aku terdiam akan pedih dan sesak akan kondisi adikku.
“Lalu bagaimana, dok?”
“Operasi.” Begitu singkat, padat dan jelas. Pikiranku berkecamuk membayangan berlembar-lembar rupiah yang harus kudapatkan dari tempe-tempe itu.
“Apakah saya masih bisa hidup bila tidak dioperasi, dok?”
Suara kecil itu seakan halilintar yang menyambarku. Kulihat ia menanyakan hal itu dengan senyuman khasnya yang polos. Apa yang kau tanyakan, adikku?  Apakah kau sungguh-sungguh mengerti apa yang sedang kau hadapi, sayangku?
“Tentu saja bapak tidak berhak mengatakan hidup atau tidak. Tapi alangkah baiknya jika membuang penyakit yang ada di dada kamu, pintar.”
“Saya hanya tidak ingin kakak saya khawatir, dokter. Kakak sudah sangat cape. Saya tidak ingin kakak bertambah cape karena aku sakit.” Ia menunduk lesu.
Duh Gustiiiiii!!!! Aku menjerit sekeras-kerasnya!! Mengamuk sejadinya-jadinya!! Merobek hasil USG menjadi serpihan-serpihan yang menghilangkan semua kenyataan!!!
Namun toh hatikulah yang menjadi serpihan saat mendengar kekhawatirannya akanku, kakaknya. Bukan mengenai dirinya sendiri.
Tanganku berkeringat dingin dan tegang.
“Saya ambil operasi, dok. Berkas-berkas atau administrasi apa saja yang harus saya lengkapi?”
Adikku terdiam melihatku. Aku tahu, ia lebih menderita dariku. Dan bukan gerutuan yang ia butuhkan. Tapi semangat.
“Kak …“
“Bukankah Fitri pernah berdiri di depan kelas dan mengatakan sesuatu yang berharga untuk Fitri adalah kakak.” Adikku mengangguk lesu. Aku berlari menuju tanah paling tinggi di hadapan kami.
“Sesuatu yang berharga untukku adalah adikku. Adikku sangat menyayangiku. Ia selalu bersemangat walau sakit dan sulit sekalipun. Adikku tak pernah mengeluh walau aku tahu ia sedih dan sakit karena penyakitnya. Adikku sangat kaya!! Sangat kaya hati, semangat dan usahanya. Dan nama adikku adalah FITRII!!!!”
Pandangan kami beradu. Kali ini kami tidak membiarkan air mata mengendap dan mengerak di hati yang paling dalam, lalu bersembunyi di balik tundukan kepala kami. Saat ini kami membiarkannya mengalir. Seiring pelukan kami yang erat. Seiring keberkahan atas setiap nikmat, sakit, bahagia dan sedih yang kami rasa.
Terima kasih, Gustiku…
·          
“Sudah jangan bergerak terlalu banyak dulu. Nanti jahitannya ga rapet-rapet.” Ia hanya mengangguk lemas menuruti kata-kataku.
“Hari ini adik sudah bisa pulang. Administrasinya silahkan diurus di bagian kasir.” Aku menggangguk dan meninggalkan adikku yang mulai dilepas infusnya.
“Atas nama Fitri, bu.”
“Total kekurangan biayanya dua juta seratus ribu rupiah.”
“Bukankah saya sudah memberikan uang DP sebesar 4 juta? Uang obat sebesar 2 juta pun sudah saya tebus. Kekurangan untuk biaya apa lagi, bu?”
Perawat itu menyerahkan kertas berisikan semua rincian yang sama sekali tidak aku mengerti apa, untuk apa, dan kapan.
“Baik bu, saya akan kembali lagi.” Langkahku mendadak pelan saat melirik uang sembilan ratus ribu di gengggaman tangan.
“Duh, Gustiku…” Aku menghitung kembali uang yang kugenggam. Sembilan ratus ribu. Aku terdiam. Kuhitung kembali. Jumlahnya masih tetap. Tidak bertambah. “Tak ada mukjizat kah, Gusti?”
Kakiku berlari kencang seketika. Jantung berdegup kencang tak karuan.
“Bagaimana bagaimana!!??” Mulutku tertutup rapat. Namun otakku sama sekali tak rapat. Duh Gusti!!!!!!
“Bagaimana ini? Masih mentah?!” Aku terduduk lemas di hadapan tempe mentah yang sama sekali belum terselubung jamur.
“Bagaimana Gustiku, bagaimana?? Masih kurang satu juta dua ratus. Bagaimana Ya Allah, Gustiku???” Aku menunduk gemetar tanpa tangis.
“Masih ada cara kan, Gustiku?! Engkau masih bersamaku kan, Gustiku?! Engkau tak pernah meninggalkanku kan, Gustiku???!!”
Tak kupedulikan pandangan orang sekitar saat lariku menyerupai orang kesurupan. Aku berkeliling sekitar pasar. Kutajamkan telingaku, berharap ada yang mengatakan “Apa ada tempe mentah?” Terus berlari dan berlari, mengharapkan mukzijat.
“Mba? Mba yang biasanya jualan tempe kan?”
“Oh iya bu iya. Ibu butuh tempe mentah kan??” Keningnya  berkerut.
“Mbak, dimana-mana juga yang dibutuhin tempe matang. Ini malah tempe mentah. Baru kali ini ada penjual aneh.” Ia meninggalkanku yang masih berharap. Ia mendekati temannya. Bercakap-cakap, menunjuk, mengangguk-ngangguk, dan akhirnya melihatku yang seperti orang tolol.
“Tempe mentah? Wah, kebetulan sekali saya memang membutuhkan  tempe mentah, mbak!!!”
Aku gemetar mendengar suara surga itu. Air mataku mengalir.
“Bagaimana bisa kudapatkan uang itu dengan tempe mentah ini?” Aku tertunduk dengan imajinasi manis yang kenyataannya hanyalah kumpulan ibu-ibu yang tertawa terkikik-kikik melihatku.
·          
“Suster dan dokter…”
“Ada apa, ibu?” Tertunduk lesu aku dengan diriku sendiri hingga terdengar hela nafas berat.
“Ini...” Uang yang terlihat segepok bagiku, jelas akan terlihat sedikit untuk dokter dan perawat.
“Kekurangannya masih satu juta dua ratus ribu rupiah. Apa anda akan membayar dengan kartu kredit?”
“Ini kartu kredit saya…”
“Apa maksud anda?”
“Saya ingin membayar kekurangan biayanya dengan ini.” Wajahku tertunduk akan suaraku sendiri. Sungguh malu… Tak berani kutatap kedua orang yang ada di hadapanku.
“Dengan tempe mentah??” Akhirnya suara mereka memecah keheningan. Sungguh aku tak berani menjawab pertanyaan mereka. Anggukankupun terasa sangat lemah, menunjukkan keragu-raguan akan tindakanku sendiri. Mereka saling bertatapan keheranan.
“Anda sungguh ingin membayar kekurangan biaya dengan tumpukan tempe mentah ini?”
“Tolonglah, Dokter. Saya tidak tahu apa yang sedang saya lakukan. Tapi saya juga tidak tahu bagaimana cara membayar kekurangan biayanya. Tolonglah saya!! Kumohon!” Mereka berdiri tiba-tiba. Tatatapan mereka sungguh... Aku tak peduli! Aku tak peduli!!
“Tolonglah, dokter! Atau anda ingin membeli tempe ini? Anda tentu banyak uang? Tentu membeli tempe ini tidak akan mengurangi sepeserpun uang anda! Saya mohon! Mohon!!!!!”
“KAKAKKK!!!!” Ia menatapku nanar dan sedih. Air matanya mengalir seakan tak percaya, melihat kakak yang ia banggakan merangkak, memelas penuh kepicikan. Aku sungguh tak sanggup…
“Maafkan aku… “ Suara lirih di sela simpuhku di antara ketiga orang yang berdiri tegak di sekitarku. Sunggguh pemandangan memilukan dan menghinakan.
Adikku memungut satu-persatu tempe mentah yang berjatuhan di lantai.
“Maafkan kami, suster dokter. Kakakku hanya sangat mencintaiku, sehingga bertindak seperti itu.
Kami akan segera melunasinya. Kami tak akan kabur dari sini.” Genggaman tangannya yang dingin
menuntunku keluar ruangan. Ia tak berucap sedikitpun.
“Maaf…” Itulah kata-kata pertama sepanjang kebisuan kami. Ia tetap diam. Aku menunduk lesu. Tak berani memandang wajah adik kecilku. Kami terdiam terbisu diantara kebisingan ruang rawat inap kelas 3. Orang hilir mudik menjenguk, berbincang dan mondar mandir di sekitar kami. Sungguh kebisingan yang tak layak berada di rumah sakit, tapi sama sekali tak kami rasakan.
“Bu, Si kakak aneh-aneh aja deh ngidamnya.”
“Sebenarnya tidak aneh, pak. Tapi yang bikin bingung, bagaimana mengirimnya? Bukannya pasti busuk ya kalau dikirim ke Amerika?”
“Terus bagaimana, bu?” Percakapan mereka terputus.
Hah, sungguh… bukan hanya kami saja yang dalam keruwetan. Siapapun, dengan permasalahan yang berbeda.
“Kalau mentah? Mana ada yang jualan tempe mentah sore-sore begini ya, hemh…”
Tiba-tiba kepalaku dan adikku berputar 180 derajat. Seakan-akan kami menemukan harta karun tak ternilai saat melihat wajah kedua orang tua yang berada di belakang kami.
“Apa si mereka. Nguping pembicaraan kita ya? Apa mereka kaget karena anak kita ada di Amerika?” Tawa kami pecah saat suara bisik sang ibu terdengar amat jelas di telinga kami, menambah bisingnya ruang rawat inap kelas 3 ini.
Mata kami berdua saling memandang dan senyuman merekah pada akhirnya.

Thursday, April 10, 2014

hostility palace

Do you know the feeling?
When you always run and never stop
Despite you cry
Or cannot speak again

Do you know the feeling?
When you cannot feel the pain again
Despite all of body bloody
And cannot move again

Always run and run
To face the world
Until never conscious
That i am naked

Run by bloody naked
Cry by bloody tears

The huge hostility palace
Build the invulnerable pain

Hurt without blood
Scream without voice
Live without soul

The simple thing i can't do

When see you bring your shopping stuff
I say,
"In the last time, i could bring it too, same with you"

When see you eat he delicious food
I say,
"In the last time, i could eat it too, same with you"

When see you wear the quality stuff
I  say,
"In the last time, i could wear it too, same with you"

When see you smile and laugh honestly
I say,
"In the last time or now, i can't do that"

Sunday, January 26, 2014

Lakukan!

Ludahi aku bila aku tak pantas untukmu

Bunuh jiwaku saat aku hanyalah sampah dalam hidupmu

Hinakan aku jika aku hanya parasit di detik kehidupanmu

LUDAHI!
BUNUH!!
dan HINAKAN!!!
Lakukan! Apapun yang membuatmu senang!!!!

Saat raga dan jiwa ini lenyap . . .
Mungkin saat itulah, kau akan menganggapku ada

by phi



Monday, January 20, 2014



Aku dan Mereka Hidup


“Siapa dia?”
“Mana?” Jemari lentiknya menunjuk sesuatu yang bergerak merayap di tebing.
“Kurang kerjaan.” Mata cantiknya tetap memperhatikan sang kurang kerjaan tak menghiraukan jawaban.
“Jangan katakan kau ingin melakukan hal yang sama. Kau tentu tahu jawabannya.” Lelaki kewanita-wanitaan itu meninggalkannya sendiri. Tidak perlu jawaban, karena mereka tahu siapa bos nya.
Ia tetap tidak melepaskan pandangannya dari sang kurang kerjaan dan menggumamkan sesuatu yang tidak akan mampu didengarkan siapapun.

# # #

“Kau tetap memandanginya walau hari telah berganti?”
“Apakah kau masih harus mengatur kemana aku memandang?” Lelaki kewanita-wanitaan itu mengangkat pundaknya acuh.
“Kau tahu siapa dirimu dan apa yang harus kau lakukan.” Wanita itu meneruskan pandangannya pada sang kurang kerjaan di tebing, tak lupa dengan gumaman.
“Kau selalu bergugam. Aku tak yakin apakah angin juga dapat mendengar gumamanmu.” Akhirnya wanita itu menarik nafas kesal, meninggalkan lelaki kewanita-wanitaan yang berkacak pinggang di belakangnya
“Pengganggu”
“Kali ini aku bisa mendengar gumamanmu, hai sang pemilik suara!!” Lelaki kewanita-wanitaan berlagak memarahi, namun senyum tipis tersungging di bibirnya.

# # #

Deru nafas terdengar kencang. Jari jarinya kuat memegang sebongkah demi sebongkah batu sebagai pegangannya. Kaki kakinya menapak kuat agar ia bisa bergerak perlahan namun mantap. Secuil batu tergelincir jatuh akibat pijakan kakinya.
“Aduhhh!!!”
Sebuah suara terdengar merintih di bawah sana
“Apa yang kau lakukan di bawah sana?’ Seorang wanita diam sambil memegangi keningnya.
“Apa kau baik-baik saja? Kau tahu akan berbahaya jika kau berdiri di bawah sana?!” Wanita itu kini memandanginya yang belum jauh memanjat.
“Apa kau bisu?!” Lelaki itu berteriak tanpa ada jawaban kembali. Lelaki itu menggumam dan melanjutkan panjatannya.

# # #

“Ada apa dengan keningmu?” Lelaki kewanita-wanitaan itu memeriksa keningnya yang agak benjol dan lecet.
“Aku bisa mengobatinya sendiri.” Mereka beradu pandang. Entah saling bertanya atau saling mengejek dalam hati.
“Sejak disini, kau mulai berubah.”
“Tapi aku tak berubah saat menjalankan pekerjaanku disini bukan?” Jemari lentiknya memberi cairan orange di kening
“Ya memang ..”
“Lalu dimana letak masalahnya?” Mata tajamnya memandang tajam wajah gusar lawan bicaranya melalui cermin
“Berarti tidak ada masalah.” Sekali lagi ia meninggalkannya dengan gugaman hampir tak terdengar
“Yah, paling tidak sekarang gumamanmu tak selirih dulu.” Lelaki itu memangut sosok yang meninggalkannya melalui cermin

# # #

“Bolehkah aku ikut denganmu?” Sang kurang kerjaan itu menengok ke sumber suara. Ia mendengus saat tahu siapa yang berbicara.
“Bolehkah?” Suara itu melanjutkan saat tak ada jawaban mengiyakan. Sang kurang kerjaan tetap mempersiapkan peralatannya tanpa menghiraukan sang pemilik suara.
“Kumohon . . .”
“Tebing ini bukan milikku, nona.” Akhirnya ia menghadap langsung pada pemilik suara. Parasnya cantik pikirnya. Sangat terawat. Perhiasan mewah semakin menyilaukan kecantikannya. Wajahnya terlihat sangat memohon. Sang kurang kerjaan memandangi peralatan lengkap yang dibawa pemilik suara.
“Sepertinya kau sudah siap.” Sang pemilik suara mengangguk. Paras cantik semakin menjadi saat senyum mengembang di wajahnya.
“Kau tentu akan kesulitan jika memanjat dengan memakai perhiasan seperti itu.” Sang pemilik suara memandangi setiap perhiasan yang bertengger di telinga, leher, pergelangan tangan, jemarinya.
“Tapi …”
“Kau khawatir tidak akan dikenali sebagai artis jika tidak memakai perhiasan itu?” Sang pemilik suara segera melepas semua perhiasannya dan mulai melakukan pemanasan.
“Lagi pula, aku baru pertama kali melihat pohon seperti kita memakai perhiasan.” Sang kurang kerjaan tak menghiraukan wajah sang pemilik suara yang termangu mendengar semua kalimatnya. Ia menggugam.
“Apa yang kau katakan?” Sang pemilik suara segera menancapkan paku tebingnya dan mulai memanjat
“Kau adalah pohon yang pelit berbicara.”
“Dan kau adalah pohon yang terlalu banyak bicara” Sang kurang kerjaan terperanjat akan kalimatnya. Ia segera menyusul sang pemilik suara yang sudah ada satu langkah di depannya

# # #

“Jangan lupa besok pagi kita ada jadwal.” Wanita cantik itu terperanjat seakan lupa akan jadwalnya.
“Ada apa? Apa kau lupa? Ingat aku tak akan membatalkan jadwal yang sudah tersusun rapi karena lupamu itu.”
“Aku tak mengucapkan apapun.”
“Yah memang kau tak mengucapkan apapun seperti kau tak pernah mengatakan kemana kau pergi. Kenapa kau tidak memakai perhiasanmu lagi. Atau kenapa dengan tiba tiba tanganmu penuh denga luka. K-a-u  t-a-k  p-e-r-n-a-h  m-e-n-g-a-t-a-k-a-n-n-y-a.” Serentetan kalimat seakan peluru yang memberondong sang wanita. Ia kelimpungan mencari jawaban.
“Kenapa? Kau kaget? Sebentar lagi aku akan tahu apa yang kau lakukan di belakangku.”
“Bukankah seorang model harus cukup istirahat sebelum melakukan pemotretan?” Wanita itu menarik selimut. Bukan untuk menyelimuti dinginnya udara malam, tapi untuk menyelimuti hatinya yang resah.
Lelaki kewanita-wanitaan itu meninggalkannya sendiri. Ia masih terdiam tak beranjak saat menutup pintu kamarnya. Pikirannya berkecamuk dengan ketelitian.

# # #

“Bukankah kita harus berangkat lebih pagi untuk mengejar matahari?” Lelaki kewanita-wanitaa masih nyaman di bawah selimutnya yag tebal. Sebuah gerakan lambat terlihat dari permukaan selimut. Lelaki kewanita-wanitaan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya.
“Ayo bangun! Ayo!”
“Ahh!! Kau mengganggu!!” Lelaki kewanita-wanitaan menarik kembali selimut yang hampir terampas darinya.
“Ayolah! Aku tidak akan membatalkan jadwal yang sudah tersusun rapi hanya karena kemalasanmu ini!”
“Aku lupa memberitahumu. Mereka mengatakan hari ini mendung. Dan kita tidak akan dapat mengejar matahari terbit.” Suaranya terdengar malas-malasan, tapi terdengar seperti sebuah berita hadiah yang sangat besar bagi wanita itu.
“Benarkah?! Benarkah!??”
“Ah! Kenapa kau mengganggu tidurku!!” Wanita dan lelaki kewanita-wanitaan saling berebut selimut.
“Katakan dulu benar atau tidak?” Jemarinya berhasil menyingkap selimut yang menutupinya.
“Ya Ya Ya!!! Kau Puas!!”
“Ya ya ya! Aku puasssss!!!!” Wanita itu berlari kegirangan selayaknya anak kecil yang mendapat mainan.

# # #

“Kau terlambat.” Ia terengah-engah, nafasnya seperti berebutan mendapatkan partikel partikel udara yang sangat banyak.
“Mari berlomba!” Sang pemilik suara akhirnya mengeluarkan suaranya
“Ha?”
“Jika aku menang, kau harus ikut denganku ke kota.” Sang kurang kerjaan memandangnya kaget.
“Apa kau bercanda?” Sang kurang kerjaan berkacak pinggang
“Oke! Deal!!”
“HEYY!! Tapi aku belum menjawabnya!!” Tapi sang pemilik suara tak menghiraukannya dan tetap memanjat
“Keras kepala!!” Sang kurang kerjaan berteriak, berharap sang pemilik suara akan berhenti. Namun sang pemilik suara tak bergeming, diikuti gerutuan dan gumaman panjang sang kurang kerjaan.
Sepasang mata memandangi mereka berdua. Setapak demi setapak keduanya mendekati tebing yang tak begitu curam. Wajahnya menunjukkan keheranannya melihat pertunjukkan mereka. Ia tak bergumam, ia juga tak menggerutu. Namun, pikirannya berkecamuk cepat, dengan penuh ketelitian.

# # #

Nafas begitu cepat terhembus dari keduanya. Mereka berdua terlentang kelelahan, namun dengan senyuman. Keringat menetes di tanah terhampar luas di sekeliling mereka. Hanya mereka berdua, pemilik surgawi indah itu. Hanya mereka berdua, pemilik kepuasan itu.
“Tak kukira artis sepertimu bisa bergerak secepat itu. Kukira jari-jarimu yang lentik tak akan mampu mengalahkanku.” Sang kurang kerjaan menatapnya yang masih terpejam dengan senyum kemenangan
“Apakah aku belum memberitahumu?” Bibir tipisnya menggugam
“Apa?”
“Aku mantan pemanjat tebing.” Sang kurang kerjaan tertegun mendengar pengakuan itu. Setelah sekian hari? Ia merasa terjebak permainan sang pemilik suara. Namun, pertanyaan lain lebih mengganggunya.
“Lalu kenapa kau sangat ingin aku ke kota bersamamu?” Sang pemilik suara terbangun dan tetap tersenyum.
“Karena aku ingin kau tahu sesuatu yang lain.”
“Apalagi yang kau gumamkan. Kenapa kau sering sekali menggugam?” Namun sang pemilik suara sudah berlari meninggalkannya. Di kejauhan ia berhenti dan berbalik. Dengan suara keras sang pemilik suara berteriak bahagia.
“Aku tunggu besok saat matahari terbit!” Sang kurang kerjaan hanya melambaikan tangan. Tak terasa senyum mengembang di wajahnya. Entah mengapa. Tapi ia ingin tahu “sesuatu” apa yang ingin disampaikan sang pemilik suara

# # #

“Aku ingin dia ikut ke kota?” Lelaki kewanita-wanitaan itu memandanginya dengan lekat. Wajahnya seakan bertanya-tanya.
“Untuk menjadi model sepertiku disana.”
“Ha?” Lelaki kewanita-wanitaan itu merespon tak mengerti
“Pasti kau bertanya tanya untuk apa aku mengajaknya ke kota.” Sang pemilik suara menjelaskan
“Sok tahu ... Aku hanya berfikir apakah orang ini lah yang bisa merubah dinginmu, ketidakpedulianmu. Merubahmu dari wanita terhormat  menjadi wanita pemanjat tebing seperti dulu.” Sang wanita terhenyak
“Kau tahu …” Bibir sang pemilik suara bergetar, disambut senyum kemenangan sang lelaki kewanita-wanitaan. Sang pemilik suara merasa terpojok.
“Dia tahu. Bagaimana ini. Bagaimana jika aku tak dapat merasakan kebebasanku kembali. Bagaimana jika manusia kembali memasangkan kembali perhiasan perhiasan yang sangat menyiksa itu? Bagaimana bagaimana?” Pikiran sang pemilik suara terus berkecamuk. Sungguh kebebasan yang sangat berharga baginya
“Apa kau merasa menang dengan ketahuanmu?” Suara sang kurang kerjaan memecah keheningan mereka
“Apa ukuran terhormat menurutmu adalah bertangan halus, memakai perhiasan, dan berkosmetik tebal?” Sang kurang kerjaan menatap tajam lelaki kewanita-wanitaan
“Tahu apa kau tentang dia?!”
“Aku tidak tahu apa apa. Tapi seharusnya sepupu yang berperan sebagai manager lebih tahu dari pada aku yang hanya seorang teman pemanjatnya” Mereka bersitegang. Tangan sang lelaki kewanita-wanitan mengepal keras
“Apa maksudmu? Lalu apa yang kau tahu tentang saudaraku ha?!” Tubuhnya maju selangkah, seolah ingin menantang sang kurang kerjaan yang tubuhnya lebih besar darinya. Sang kurang kerjaan diam menahan amarah. Mungkin jika dilukiskan, jiwa mereka sudah bertarung hebat. Saling mencaci, memukul dan meludahi satu sama lain.
“Aku sakit …” Sebuah suara muncul
Sang lelaki kewanita-wanitaan menengok ke arah suara. Sang pemilik suara menunduk lesu.
“Kupikir, ini akan seperti yang mereka pakai. Terlihat cantik. Hanya itu. Tapi ternyata ia memberiku hal lain. Penyakit karena cahayanya.” Suaranya lesu dan serak. Sang lelaki kewanita-wanitaan tertegun.
“Para manusia menghias kita, para pohon. Dengan ini . . .” Sang pemilik suara mengangkat perhiasannya, memandangnya lama
“Manusia menyebut ini sebagai lampu. Sebuah lampu yang sinarnya membuatku teradiasi. Dan sangat sakit …”
“Apa yang kau katakan?! Kau baik baik saja saudaraku?!” Sang lelaki kewanita-wanitaan itu tak percaya. Ia mengguncang kencang tubuh sang pemilik suara.
“Kau sangat sehat! Lihat! Tubuhmu terllihat sangat segar dan sehat! Apa yang kau bicarakan?!” Sang pemilik suara menepis tangan lelaki kewanita-wanitaan. Ia mundur dan tiba tiba membuka dedaunan yang menutupi sebagian wajahnya. Kerutan kerutan besar terlihat di sebagian wajah yang tertutup daun. Ada beberapa bagian kulitnya yang terkelupas karena kerutan tersebut. Kerutan itu sudah menutupi hampir sebagian kulit kepalanya.
Tangan lelaki kewanita-wanitaan bergetar berusaha menyentuh kulit yang mengerikan itu.
“Se .. jak ka .. pan?” Tangannya semakin bergetar
“Mengapa … mengapa tak kau katakan padaku?” Air mata mengalir di wajahnya yang semakin menyesal akan ketidaktahuannya
“Maafkan aku, maafkan aku saudaraku …” Tubuhnya bergetar hebat seiring suara tangisnya yang pecah
“Maafkan aku … tak bisa menjagamu …” Sang pemilik suara tersenyum memeluk lelaki kewanita wanitaan

# # #

“Apa yang mereka lakukan padaku?” Sang kurang kerjaan bingung saat manusia memotong semua daun di tubuhnya. Hanya batang yang tersisa dan akar yang tersisa di tubuhnya
“Bawel!”
“Hei, kenapa kau meninggalkanku. Sekarang gugamanmu begitu bisa kudengar! Kenapa kau katakan aku bawel!?” Sang pemilik suara meninggalkannya sendiri di truk bersama pohon pohon yang lain sedangkan ia duduk secara eksklusif di bagian depan bersama lelaki kewanita-wanitaa. Mereka semua gundul, tanpa daun yang menutupi wajah mereka. Seakan telanjang dan dijadikan dalam satu penampungan.
“Apa yang terjadi pada kita?” Sang kurang ajar bertanya kepada teman sampingnya
“Memang beginilah cara manusia membawa kita, para pohon ke kota.”
“Apa maksudmu?” Sang kurang kerjaan tetap tak mengerti maksud si teman
“Kau akan tahu disana” Si teman mengakhiri kalimatnya, saat tak terasa seluruh ruang dalam truk terisi penuh oleh mereka yang tanpa apapun. Rasa malu sudah berbaur menjadi satu dengan kepengapan udara.

# # #

“Jadi ini maksudmu tentang kota?” Matanya menerawang tanah lapang yang diisi dengan bangunan tinggi yang masih setengah jadi. Para manusia hilir mudik membangun sebuah bangunan yang entah untuk apa. Udara terasa sesak dan tak segar untuknya yang datang dari pedesaan.
“Beginilah kota. Sama sepertimu saat ini. Semua daun kami dipotong supaya mereka dapat mengangkut banyak. Dan kemudian akan memperlakukan seperti apa yang kau alami saat ini.” Sang pemilik suara memandang tubuh sang kurang kerjaan yang ditopang beberapa kayu di sekitarnya agar tetap tegak dan tumbuh.
“Lalu apa yang akan mereka lakukan setelah ini?”
“Tebak!” Sang pemilik suara tersenyum dan mengerling nakal
“Kami akan dihiasi lampu sepertimu?” Sang pemilik suara bangkit dari duduknya. Ia berlari menjauh, berputar putar seakan mendapatkan kebebasan.
“Aku tak akan membuat kalian mengalami seperti yang kurasakan. Aku tak akan membiarkan mereka meletakkan lampu lampu itu di tubuh kalian. Aku tak akan membiarkan mereka melakukan itu pada kalian!!!” Ia berteriak kencang, membuat para pohon terbangun dari keputusasaan mereka.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?!” Seorang teman dari ujung berteriak kencang mengalahkan suara angin yang menderu kencang di tanah lapang
“Aku memiliki kalian, saudara saudaraku! Dan kita akan bangkit bersama! Kita akan melakukan sebuah rencana yang menyadarkan manusia bahwa kita bukanlah barang mati, kita bukan hiasan! Kita hidup!!” Nafasnya terengah-engah mengucapkan kata demi kata yang sangat ingin ucapkan sejak dulu.
“Manusia harus tahu bahwa kita bukan hiasan kota” Kali ini ia hanya menggugam. Namun, angin membawa gugamannya ke setiap pohon yang terpasung kayu.
“Kita hidup, dan manusia harus tahu itu.”