Pages

Monday, December 14, 2015

Fasilitas Alam Kubur



Fasilitas Alam Kubur


To                    : radith.bima@gmail.com
Subject            : enak?
Text                 : Kakak!!!! Apa kabar!!??? Aku kangen kakak! Kakak kangen aku tidak?
Kak, bagaimana rumah barunya? Enak tidak? Betah tidak?
Kak, hari ini ayah beli laptop baru dong! Ayah membantu aku membuat email. Susah ya kak. Tidak seperti menulis di buku tulis. Aku geregetan deh ngetiknya. Tapi sekarang aku jago kirim email. Aku bisa kirim email ke kakak. Cerita ke kakak. Makanya jangan lupa balas email aku ya, kak.
Kakak, hari ini hujan deras lagi. Tv bilang di Jakarta banjir. Tapi alhamdulillah, rumah kita tidak kebanjiran, kak.
Kalau rumah kakak bagaimana? Tidak kebanjiran seperti di Jakarta kan? Maaf aku belum bisa main kesana. Kakak jangan sampai sakit seperti dulu ya. Kakak harus jaga kesehatan. Aku sedih kalau kakak sakit.
Kakak punya apa saja di rumah baru? Ada tv? Kulkas? Games favorit kakak?
Kapan-kapan ajak aku kesana ya, kak. Sudah dulu ya kak. Aku mau main sama teman-teman. Dadahhhhhh.
Aku sayang kakak.
Send                : oke
“Yes, hehehe!” Berulang kali tangannya meninju udara. Tubuhnya meliuk-liuk menarikan tarian khas anak kecil. Tidak mengenal irama, keluwesan ataupun aturan.
“Cie cie! Ada apa si senang banget?” Sebuah sapaan menghentikan perayaannya yang sangat meriah. Tangan kecilnya menutup layar laptop dengan cepat Gigi serba ompong dipamerkan tanpa ragu.
“Cie? Pakai rahasia segala. Lagi ngapain si, cantik?”
“Rahasiaaaaa!!!!”
“Dih curang!” Sang perempuan mengejar si kecil. Mereka tertawa bahagia. Langkah kaki yang lebar membuat sang perempuan mampu menangkap si kecil dengan cepat.
“Kan kak Ria sering curhat ke kamu. Sekarang gantian dong!”
“Wek! No! No!” Lidahnya menjulur mengejek sang perempuan. Tangan besar segera meraih tubuh si kecil. Menggelitik, gemas.
“Kayanya sekarang sering pakai laptop ayah ya?” Adel mengangguk mantap.
“Kemarin ayah ngajarin Adel buat email, kirim email dan terima email. Jadi, Adel sekarang sedang semangat main email, kak.”
“OH?!” Mata Ria membulat besar.
“Berarti barusan kamu kirim email ke seseorang?!” Telunjuk yang diarahkan ke wajah Adel digigitnya mentah mentah.
“Nanti deh. Surprice deh pokoknya!”
“Okelah. Kak Ria sabar kok. Tapi janji ya!”
“Janji apa?”
“Janji cerita ke Kak Ria.” Permintaan itu dijawabnnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya ke Ria.
“Oh iya, ini ada sesuatu buat kamu.”
“Asik! Makasih Ka Ria!” Tangan kecilnya segera membuka hadiah bersampul bunga dengan antusias. Matanya berbinar melihat isi hadiah itu. Dia memainkan boneka itu di udara.
Tit tit tit
Sebuah text membuat wajah cantiknya pucat pasi. Tangannya yang bergetar terlihat jelas di hadapan Adel.
“Kak Ria, ada apa?” Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya terasa lemas seketika.
“Kakak, ada apa? Ibu saki lagi?” Ria mengangguk lemas.
“Kakak mau pulang sekarang? Biar ayah antar.” Tangan Ria menahan Adel yang sudah bersiap memanggil ayahnya.
“Tidak usah cantik. Kakak pulang sekarang.” Adel tidak bisa menahan tubuh Ria yang meluncur cepat tanpa berkata-kata apapun lagi. Kakinya melangkah cepat. Tangannya masih menggenggam erat handphonenya. Tiba-tiba semua terasa dingin. Kaki tidak mau menuruti otaknya. Ia berhenti melangkah. Dan untuk sekian kalinya ia menatap handphonenya. Membaca berulang kali text itu.

·          
                            
Tring

From                : radith.bima@gmail.com
To                    : adel.bima@gmail.com
Text                 : Kakak juga sayang kamu, cantik.
Matanya yang bulat semakin membesar. Tubuhnya kaku. Ia tidak percaya dengan email yang baru saja diterima. Ia sangat gembira tapi air matanya meleleh tanpa diperintah.
“AHHHHHHHH??!!!!!” Adel berjingkrak jingkrak di kursi. Tidak dipedulikannya malam yang sudah begitu sunyi untuk teriakan dan tingkahnya yang begitu gaduh.
“Adel? Ada apa, nak?” Adel berlari memeluk ayah bunda yang datang membawa kekagetan mereka. Senyum tidak hentinya menyungging di bibir mungilnys.
“Ada apa, sayang. Ini sudah malam. Kok teriak-teriak?” Adel menjawab tanpa kata. Kepala menggeleng kuat. Tangan membuat tanda resleting yang ditutup di bibirnya. Didorongnya tubuh ayah mama ke kamar. Meninakbobokan mereka dengan senyuman.
Adel berlari ke laptopnya saat ruang tamu kembali hening. Mulutnya komat-kamit membaca email barusan. Nafasnya tertahan. Jarinya sudah bersiap di atas keyboard. Tapi belum juga ia memulai mengetik.
Jarinya mulai mengetik dengan perlahan. Kemudian berubah menjadi cepat dan semakin cepat. Jarinya selalu memencet tombol delete untuk setiap kesalahan.
To                    : radith.bima@gmail.com
Subject             : kaget
Text                 : Kakak!!!! Aku kaget kakak balas email aku! Tapi aku benar-benar senang sekali.
Terima kasih kakak sayang. Kakak, aku mau cerita. Tadi siang, aku diajak ziarah ke kuburan kucingnya Diah lho. Kuburannya bagus banget, kak. Ada rumput kecilnya, bunga, rumah. Pokonya bagus. Rumahnya seperti rumah barbieku, kak. Katanya supaya kucingnya tidak kepanasan. Tidak kehujanan. Begitu ya, kak? Lalu Diah cerita, mamanya bayar pajak mahal untuk kuburan kucingnya. Adel baru tahu kak. Adel juga pengen seperti itu ah. Kakak juga. Ayah Mama juga. Kak Ria juga. Supaya kita juga tetap bahagia walaupun sudah meninggal. Iya kan kak?
Send                : Oke
Tangannnya meremas-remas khawatir. Menunggu email balasan dari kakak tercinta. Mata kecilnya tidak kuat lagi menahan kantuk. Lama ia menunggu email yang tidak kunjung datang. Malam merayap dan memeluk kelelahannya.
                             Tring
From                : radith.bima@gmail.com
To                    : adel.bima@gmail.com
Text                 : Insya Allah ya, cantik.
·          

“Ih, anak mama asyik banget sama laptop ayah. Sedang apa si?” Adel tersenyum tanpa menoleh wajah mama.
“Iya deh. Mentang-mentang baru diajari ayah. Sekarang sombong ni. Mama jadi sedih.” Mama menunduk lesu. Memainkan tangannya yang begitu lentik.
“Mama, jangan begitu.”
“Adel sombong si. Pakai rahasia-rahasia sama mama.” Adel memeluk tubuh mamanya manja. Senyumnya berseri kembali.
“Mama.”
“Iya.” Mata keduanya terlihat begitu bersinar-sinar. Begitu antusias dengan cerita yang dinanti.
“Adel baru terima email dari kakak hehehe.”
“Ha?”
“Iya. Adel dan kakak sering sekali kirim email. Awalnya Adel ragu, tapi waktu kakak balas email Adel. Adel senang banget. Pasti mama ayah juga kirim email ke kakak. Makanya ayah langsung ngajarin Adel tentang email. Iya kan?”
“Adel sedang bercanda ya?”
“Ih mama. Sini deh ma.” Tangan kecilnya menggandeng erat tangan mama menuju laptop.
“Ni ma, baca deh.” Mata mama bergerak dari kiri ke kanan. Membaca satu-persatu email yang ada di latptop ayah. Keningnya berkerut. Mulutnnya menganga.
“Ayah! Ayah!” Nafas mama naik turun. Matanya masih tidak lepas dari laptop. Tidak ada senyum bahagia yang diharapkan Adel. Apa ini bukan surprice? Pikir Adel.
“Ada apa, ma?”
“Apa ayah yang melakukan ini?” Disodorkannya laptop ke tubuh ayah, kasar. Ayah mengernyit tidak mengerti.
                      “Baca!” Suara mama terdengar melengking. Ayah mulai melakukan apa yang diperintahkan istrinya. Belum habis email dibacanya, tubuhnya terduduk lemas di sofa, masih dengan mata menatap deretan tulisan di laptopnya.
“Ayah yang mengirim email ke Adel?” Ayah menggeleng lemah.
“Mama ayah, ada apa?” Dipandangnya kedua orang tuanya yang tiba-tiba bertingkah aneh.
“Adel sayang, tidak mungkin kakak mengirim email seperti ini.”
“Kenapa . . .”
“Karena kakak Bima sudah menginggal, sayang. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal bisa melakukan hal seperti ini.”
“Tapi kakak membalas semua email Adel. Ini buktinya.” Mereka menggeleng cepat.
“Lalu siapa yang tega berbohong pada Adel?!” Mereka berpandangan. Mereka tidak berbohong pada anaknya, tapi sunggguh wajah mereka berdua pucat pasi, mennunjukkan kalau merekalah yang melakukan itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Kak Bima bilang di kuburan memang seperti itu, Komputer, ac, tempat tidur. Semuaunya sama seperti rumah kita. Semua karena ayah membayar pajak, kakak bisa mendapatkan yang seperti itu. Kuburan bagus. Atau membalas email dari Adel. Itu tidak jadi masalah untuk kakak. Karena pajak itu!”
“Tidak sayangku. Orang yang sudah meninggal tidak akan bisa melakukan sesuatu seperti orang yang masih hidup.” Anak kecil itu masih tidak percaya. Dia kembali membaca semua emailnya. Menggerakkan mouse nya dari atas ke bawah. Kembali lagi. Dan mengulanginya kembali. Berharap ada sesuatu yang menjadi jawaban mereka. Hingga mouse itu bergerak tidak teratur dan akhirnya berhenti bergerak.
“Lalu siapa?” Matanya menatap laptop, nanar. Harapannya pupus satu per satu layaknya bangunan tidak berfondasi.
“Kami tidak tahu siapa yang sudah membohongimu, sayang.” Pelukan diharapkan bisa meredakan kekecawaannya. Tapi saat ini bukan pelukan kedua orang tuanya yang ia perlukan, tapi penjelasan dari Kak Bima palsu.
“Lalu dengan cara apa Adel bisa berhubungan dengan kakak?” Suara itu terdengar lirih, begitu putus asa.
“Dengan doa, sayang.” Hening.
“Apa Adel bisa cerita-cerita lagi dengan kakak?”
“Tidak, sayang. Doakan agar kakakmu mendapat tempat indah di samping Allah. Itu adalah hal yang bisa kita perbuat sekarang. Dengan doa, Adel bisa lebih dekat dengan Allah. Kakak akan lebih tenang disana karena doa Adel.” Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tangis tumpah tanpa suara.
“Adel bisa bercerita tentang apapun kepada ayah dan mama.” Pelukan mama menghangatkan tubuhnya yang masih bergetar karena tangisan.
“Apa kakak akan senang kalau Adel berdoa untuknya?” Mereka berdua mengangguk bersamaan. Memeluk anaknya yang sudah menjadi anak semata wayang. Berharap kehilangan tidak akan terjadi untuk kedua kalinya. Berharap dan berdoa agar Allah tetap memercayakan mereka berdua untuk menjaga anak mereka.
“Assalamualaikum.”  Salam ceria memecah kesedihan keluarga itu. Wajah cantik melongok di pintu ruang tamu.
“Waalaikumsalam . . .”
“Loh? Ada apa? Kok semua lemas?” Adel memeluk Ria dengan begitu erat. Menangis sejadi-jadinya. Orang tuanya hanya bisa menatap anaknya iba.
“Ada apa, cantik? Cerita ke kakak.”
“Kak Ria. Ada yang membohongi Ad . . .” Tiba-tiba kening Adel berkerut seperti mengingat sesuatu. Melepaskan pelukan Ria. 
“Apa kak Ria yang membalas semua email yang Adel kirim ke kakak Bima?”
“Ha?”
“Adel, jangan begitu sayang. Jangan menuduh kak Ria.”
“Maafkan Adel, Ria.” Ria masih melongo dengan tuduhan Adel. Sungguh ia begitu kaget dengan tuduhan itu. Tapi Adel masih memandangnya curiga. Tarikan lembut mama tidak meredakan kecurigaannya pada Ria.
“Kakak, kakak tidak mengerti apa-apa, cantik. Apa maksud kamu?” Tatapan mata tajam masih ditujukan Adel pada Ria, orang kesayangannya. Orang yang ia percaya menggantikan kakaknya.
“Hanya Kak Ria yang memanggil Adel dengan cantik. Dan semua isi email Kak Bima . . .”  Fikiran ayah melesat cepat. Beliau segera berlari mengecek laptop miliknya. Dan benar kata Adel. Semua panggilan untuk Adel adalah cantik. Sedangkan Bima tidak pernah memanggilnya seperti itu. Tubuhnya berbalik cepat.
“Apakah benar, Ria?” Mata Ria terlihat sangat bingung. Semua orang di ruangan itu seakan menghakiminya. Meminta penjelasan.
“Ria . . . Ria . . .”
“Adel?” Mama memandang curiga Ria yang hampir menangis.
“Ria tidak tega, ayah mama. Jadi . . .”
“Jadi, kamu memberi harapan palsu pada Adel?” Suara mama terdengar bergetar, menahan amarah.
“Bukan begitu, ma. Aku benar-benar tidak tega menyampaikan pada Adel. Bima baru saja meninggal. Dan dia membutuhkan Bima. Dan hanya aku yang tahu tentang email itu. Jadi jadi. Aku akan menjelaskan suatu saat agar Adel bisa menerima kalau Bima sudah tidak ada.”
“Bukan Adel yang tidak bisa menerima. Tapi kak Ria sendiri!”
Brakkkk!!! Handphone Ria terlempar jauh menabrak tembok. Hancur berkeping-keping tanpa sisa. Bagiannya terpisah berbeda arah. Tangan kecilnya sama sekali tidak ragu melakukan itu. Adel berlari meninggalkan orang-orang yang ia anggap dewasa.
Tangis Ria pecah. Bukan karena handphone yang rusak. Tapi lebih dari itu. Kepercayaan dari orang-orang yang sudah ia anggap sebagai keluargannya sendiri.
“Kamu sudah membohongi dirimu sendiri, Ria.” Tangis semakin pecah. Mereka semua meninggalkannya sendiri di ruang tamu. Andai ia ada disini. Andai kamu ada disini, Bima. Pasti kamu sudah memelukku untuk kesalahanku ini. Pasti kamu sudah menenangkanku. Mengatakan bahwa semua bisa diperbaiki. Menentramkan hatiku. Pasti. Pasti.
Mendadak Ria tercengang.
“Ya, memang aku yang sebenarnya belum bisa menerima kepergianmu. . .”

·          
“Hai, cantik.”
“Eh, kak Ria. Tumben tidak kasih kabar kalau mau main kesini.”
“Kan handphone kakak rusak.” Adek nyengir seketika.
“Maaf ya, kak.” Ria mengangguk lembut.
“Terima kasih sudah memaafkan kakak.” Kini giliran Adel yang mengangguk mantap. Adel membuka tangannya, meminta pelukan kekasih kakaknya, Ria. Pelukan memang menyembuhkan luka.
“Kakak ke toilet dulu ya.” Senyuman manis bertengger di bibir dan hatinya. Sungguh kali ini tanpa ada balasan email dari siapapun. Semua orang akan belajar dari setiap peristiwa. Tidak hanya Ria. Tapi juga dirinya. Mama juga ayah. Semuanya menjadi semakin kuat karena peristiwa itu. Matanya tiba-tiba mendelik nakal. Pikiran jahil berkelebat di fikirannya. Tangannya segera mengetik satu per satu semua kalimat yang ada di kepalanya. Dan send. Semua terkirim dengan begitu cepat.  Ia kembali menekuri komiknya.
“Adel baca apa si?”
“Ah, Kak Ria ngagetin terus ni!”
“Kamu si, serius banget.”
Tring
Adel segera berlari menjauhi kelitikan Ria. Ia segera membuka email di laptop yang sudah menjadi miliknya snediri.
Nafas Adel terhenti
From                : radith.bima@gmail.com
To                    : adel.bima@gmail.com
Text                 : Terima kasih adikku sayang.





Tuesday, August 18, 2015

IDEALIS SEBUAH IJASAH



IDEALIS SEBUAH IJASAH

“Wisudawan Anggrit Sastrawijaya, dengan IPK 3,60.” Masih terngiang-ngiang di otak saat memegang ijasah S1 yang baru saja kuperoleh satu bulan lalu. Jerih payah empat tahun. Semua diakumulasikan dalam sebuah kertas dan angka.
“Dengar, Nggrit! Kamu harus jadi guru di sekolah internasional! Kamu harus membuat kami bangga! Semua orang akan kagum dengan segala potensi dan kemampuan kamu sebagai guru!” Seorang wanita tengah baya duduk di hadapanku.
“Hemh . . .”
“Jangan bilang kalau kamu mau mengabdikan diri di sekolah yang kualitasnya ada di bawah sekolah internasional. Dan sekolah mama adalah sekolah berbasis internasional!” Aku diam, memandang mama yang kini tengah menunggu suaraku.
“Ma, Anggrit ingin . . .”
“Mama tahu kamu itu aktivis. Mama juga tau idealismemu besar. Tapi kamu harus melihat realita di sekitar kita. Jarang ada yang mendapat kesempatan kerja dengan begitu mudah tanpa seleksi seperti kamu!” Mataku bergerak langsung menatapnya. Apa maksudnya ini?
“Dengar!”
“Negara ini perlu pembenahan dan pembuktian! Pembenahan sistem pendidikan dan pembuktian kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kualitas guru yang sama dengan mereka! Bahkan lebih! Bukan hanya negara yang hanya bisa memproduksi TKW atau TKI. Tapi juga orang-orang hebat! Seperti kamu dan mama.” Aku mendengus kesal.
“Jadi menurut mama, mereka tidak hebat? Dan hanya orang-orang seperti mamalah yang pantas disebut hebat?” Mama melengos kesal. Ia mengelus dada. Mungkin meredam segala gemuruh yang sudah dipendam lama. Tanpa pernah terucapkan.
“Kamu memiliki pengalaman dan prestasimu yang begitu baik. Kamu bisa bersaing dengan guru bahkan dosen dari luar negeri. Membuktikan bahwa yang berkualitas bukan hanya dari luar negeri saja! Itu maksud mama. Mama ingin kamu bersaing dengan mereka. Orang-orang yang dinobatkan hebat oleh dunia. Sehingga merekapun akan melihatmu. Dan mengakuimu sebagai orang hebat pula!” Mama terengah-engah mengakhiri kalimatnya. Beliau tidak menghiraukanku yang sudah pusing dan jengah dengan penjelasannya. Andai kau bukan mamaku. Sungguh. Aku akan mematahkan semua kata-katamu. Namun semua beku dengan kalimat penutupnya.
“Mama bisa membuat kesempatan emas itu untukmu.”

# # #

Aku berdiri di hadapan lelaki yang tidak menyadari kehadiranku. Terlalu asik membaca berkas yang entah tentang apa.
“Selamat pagi, bapak kepala sekolah.” Lelaki itu merasa terusik. Dengan malas ia menengadahkan kepala. Ia memandangku lama hingga senyuman bangga mengembang di bibirnya.
“Bagaimana tawaran papa?” Aku memalingkan muka, terlihat taman yang persis ada di samping kantor.
“Apa tidak ada topik yang lebih menarik daripada tawaran itu lagi?” Papa tertawa terbahak-bahak sambil mengepulkan asap rokoknya. Aku memandang tajam, mengartikan arti tawanya.
“Tidak usah mencoba membaca setiap tingkah laku papa. Kamu seperti mamamu.” Katanya masih dengan gelak tawa yang menurutku sangat jelek. Aku mulai bersungguh-sungguh mendelik padanya.
“Bukankah kalian yang mengajarkan seperti ini padaku?” Lama kutamati piagam-piagam yang dipajang di ruangannya.
“Sepertinya kamu lebih cerdik daripada kami.”
“Apa gunanya lebih cerdik bila hanya menjadi sebuah boneka saja?” Senyumku terurai memandangnya. Ia menghembuskan nafas dalam.
“Papa betul-betul penasaran. Apakah kamu bisa membuktikan idealisme yang dulu kamu gembar-gemborkan ketika demo mahasiswa.”
Aku tidak harus menjawab tantangan itu. Hanya suara derik pintu ruangan ini yang menjawabnya. Saat ini yang terpenting hanya sebuah pembuktian, bukan hanya kata-kata.

# # #

“Kak, minta pulsa dong!”
“Hah? Pulsa?” Gadis itu meringis sambil menunjukkan saldo Rp 40 di hp nya.
“De, kamu kan udah dijatah papa mama, terus kenapa masih minta kakak? Buat beli softek aja kakak masih minta papa mama!” kataku pada Fitri yang membongkar dompetku.
“Ah! Kakak payah! Apa gunanya ijasah S1 dan cumlaude?”
Deg! Aku terdiam memandang sosok di hadapanku.Ia memainkan dompetku. Menimang-nimangnya.
“Fitri tahu kakak ditawari pekerjaan sama papa mama. Kenapa tidak diterima? Salah satu atau dua-duanya.” Cuek, sangat cuek sikapnya.
“Siapa yang ngajarin kamu bicara tajam seperti itu?” Ia mengangkat bahu.
“Buat aksi kaya dulu dong kak! Aku ingin cerita lagi ke teman-teman. Dulu aku sering membanggakan kalau kakakku itu mahasiswa yang sering demo, pintar. Yang jadi asisten dosen. Dan yang terpenting adalah cumlaude.” Lembar demi lembar majalah dibukanya tanpa menghiraukanku yang jengah dengan setiap komentarnya.
“Buat aku bangga seperti dulu dong kak. Dulu kakak itu seperrti burung rajawali. Kuat dan kok . . .”
“Kokoh dan punya pekerjaan bergengsi! Punya mobil! Rumah tingkat! Apalagi? Uang banyak? Lalu?!” Ia melongo melihatku yang mulai emosi.
“Kenapa si? Aku tidak punya hak untuk hidupku sendiri? Atau aku harus hengkang dari rumah ini supaya kalian tidak memintaku jadi ini dan itu?” Ia menelan ludahnya. Kami berpandangan lama.
“Bukan itu maksudku…”
“Lalu?”
“Kami hanya ingin yang terbaik untukmu…” Aku mengernyit.
“Untukku? Atau kalian?” Aku meremas bajuku. Berharap semuanya tak keluar seperti letusan gunung berapi.
“Hari ini pekerjaan! Besok lagi apa? Menikah? Dan kalian akan meminta jodoh yang bisa membuat kalian bangga!?” Terlambat. Semua sudah terlambat. Sudah terlalu lama aku memendam. Dan hari ini adalah letusannya.
“Untuk kalian. Bukan untukku!” Kami berpandangan. Air matanya menetes. Wajahnya kelu, sedih akan keadaan kakaknya.
“Kenapa?” Seakan ia sedang berbicara pada angin.
“Kenapa kakak tak pernah mengatakan itu pada papa mama? Kenapa kakak hanya diam! Kenapa kakak hanya berani mengungkapkan ini pada Fitri? Atau kakak hanya berani di luar? Tapi sama sekali tidak bisa apa-apa saat di keluarga?” Ia menggeleng-geleng. Senyumannya menunjukkan kekecewaannya padaku.
”Kakak pengecut! Gadaikan saja tittle sarjana dan cumlaudemu!” Ia meninggalkanku sendiri. Suara hantaman majalah terdengar seperti halilintar di kupingku. Aku tertohok. Aku…tidak bisa berbuat apa-apa…di hadapan keluarga.
“Aku . . . hanya . . .” Bahkan untuk membela diri sendiripun aku tak sanggup. Aku menangis, tanpa tahu apa yang ditangisi.
“Aku lelah . . . hanya lelah . . .”

# # #

Fitri mengadukan semua kejadian malam itu pada papa dan mama. Dan di sinilah aku, sebagai terdakwa yang divonis bersalah oleh orang tua, bahkan saudara kecilku.
“Dengar, Anggrit!”
“Mama papa dan adikmu tidak bermaksud menuntutmu atau menjadikanmu sebagai boneka yang harus membuat kami bangga. Kami hanya ingin kamu berguna! Bagi orang di sekitarmu! Cuma itu!”
“Bicaralah” Suaranya terdengar berat. Seberat pandangannya yang begitu menohokku. Papa. Aku masih diam, menunduk tak berani menatap orang-orang di hadapanku.
“Apakah kami terlalu muluk untuk memintamu menjadi seperti itu. Mama Cuma ingin kamu memanfaatkan tittle dan cumlaudemu itu. Apa kata orang jika kamu bekerja di tempat yang tidak bonafit. Sedangkan mama bisa memberikan semua fasilitas dan pekerjaan itu di sekolah yang mama pimpin!”
“Apa maksudmu?” Taanya papa penasaran
“Ya! Aku ingin dia mengajar di sekolahku. Sekolah terbaik di Indonesia. Dia akan bersaing dengan guru-guru dari luar negeri!”
“Tidak bisa!” Sergah ayah. Mama memandangnya sinis.
“Lalu? Kau ingin ia bekerja di sekolahmu? Sekolah yang hanya mengandalkan dana dari pemerintah?” Aku tersenyum mendengarnya. Akan dimulai . . .
“Lalu kau pikir kualitas sekolahmu lebih baik daripada sekolahku?” Mama tersenyum.
“Tidak perlu dijelaskan. Betul kan Fitri? Anggrit?” Mama menoleh pada kami.
“Begitu merendahkannya kau! Apa kau pikir terbaik menurut pandanganmu adalah segalanya? Dan yang lain tidak. You are the best and other is the beast?”
“Mari kita membicarakan kenyataan, papa!”
“Lalu dengan kenyataan itulah, kau meremehkan yang lain?”
“Aku tidak meremehkan. Aku hanya membuka matamu!”
Brakkk!!! Suara gebrakan pintu mengagetkan mereka. Adikku lari dari pertengkaran tak berguna. Aku memandang mereka. Sudah bertahun-tahun mereka selalu bertengkar. Mendebatkan hal yang tidak akan ada habisnya. Rumah ini terlihat tenang tapi sangat tegang. Aku dan Fitri merasakan betapa pekat persaingan antara mereka berdua. Mendewakan prinsipnya masing-masing tanpa mengindahkan yang lain. Perbedaan adalah sesuatu yang tabu untuk mereka.
Mereka masih bersitegang dengan lontaran kata-kata yang tak ada hentinya. Seperti desingan peluru yang bertebaran di atas kepalaku. Apakah mereka tidak merasa sedih? Dengan menyerang satu sama lain seperti itu. Atau mereka sudah saling beku?
“Inikah yang kalian maksud dengan ‘yang terbaik untuk kami’?” Keluku sangat amat kelu dengan kondisi mereka.
“Kalian orang tua menginginkan kami untuk berbicara. Tapi apakah pernah kalian memberikan kami kesempatan untuk bicara? Kalian menginginkan kami memilih apa yang kami suka. Tapi pernahkah kalian memberi kami kesempatan untuk bicara?”
“Apa maksudmu, Anggrit?” Mama semakin terbakar.
“Mama tahu maksudku sejak dulu. Sangat tahu.” Mereka terdiam. Tak ada sepatah kata yang menyanggah untuk membela.
“Akuilah. Yang kalian perjuangkan bukan untuk kami. Tapi untuk kalian sendiri.” Kutinggalkan mereka berdua dalam kebisuan masing-masing. Mereka layaknya patung, yang bisu kelu. Tak bisa bergerak. Dikarenakan malu.

# # #
Tiga hari telah berlalu. Dan kami tetap membisu. Keluarga ini hanya keluarga kecil, tapi begitu besar kerumitannya. Suasana semakin kikuk dan asing. Ingin ku pergi. Tapi haruskah aku menyerah sekarang? Dan menyerah pada keluarga sendiri? Sedangkan aku sangat menuntut pada masyarakat?
Dan seperti kemarin. Kami berkumpul kembali di ruangan yang sama.
“Anggrit tahu, setiap orang tua ingin anaknya berharga di tengah-tengah masyarakat.” Suaraku terdengar nyaring tanpa celah.
“Anggrit sudah putuskan. Aku tidak akan bekerja di sekolah mama.” Papa tersenyum dengan penuh kemenangan.
“Ataupun sekolah papa . . .” Dan senyumannya menghilang.
“Bila mama papa berfikir bahwa Anggrit miilik kalian, lalu kalian berhak menentukan segalanya. Tidak! Itu salah! Aku adalah aku. Dan aku berhak untuk mempertimbangkan dan menentukan apa yang akan kuputuskan” Terangku mantap.
“Ini adalah hidupku. Dan akulah yang berhak untuk menentukan apa yang akan aku lakukan dan pilih. Aku juga bukan manusia sempurna, Fitri. Kakak hanya berusaha yang terbaik. Urusan benar atau tidaknya. Itu bukan urusanku lagi. Dan bukan urusanmu lagi. Kita bukan hakim” Kutatap Fitri yang entah mengerti atau tidak tentang semua pembicaraan ini.
“Kalian ingin aku menunjukkan idealisku. Dan saat inilah waktu yang tepat untuk menunjukkan idealisku.” Kupandang mereka satu per satu. “Aku akan menentukan langkahku sendiri. Bukan mama atau papa yang aku pilih. Tapi diriku sendiri.” Aku mengecup mereka, orang-orang yang kusayang. Memeluk mereka yang kebingungan. Tanda tanya bergemuruh di otaknya.
“Anggrit sayang kalian semua.” Kulangkahkan kaki mantap, meninggalkan mereka yang kusayang. Rasa sayang ini semakin menjadi-jadi saat kami berpisah.
“Aku akan membuat kesempatanku sendiri.” Ucapku mengakhiri segala keruwetan di rumah ini.
“Kakak!” Kali ini aku tidak membalikkan tubuh. Hanya memberhentikan langkahku untuk yang terakhir kali.
“Fitri bangga sama kakak.” Aku tersenyum. Bukan karena gelar S1 yang menggelantung di belakang namanku. Toh aku tidak akan menggunakan embel-embel itu. Aku tersenyum karena aku telah berani memutuskan proses hidupku. Dan menyampaikan hal itu pada keluargaku.