Pages

Wednesday, March 6, 2013

Pentingkah Jika Aku Tak Perawan



Pentingkah Jika Aku Tidak Perawan
 “Aku sudah tidak perawan…” Ia tersenyum saat kata-kata itu terucap dari bibirnya. Kami terdiam dan  masih saling memandang. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa dan berkata apa. Mungkin kata-kata terbaik saat ini hanyalah, diam.
“Dengan kondisiku saat ini, kamu boleh meninggalkanku. Aku menger…” Kugenggam tangannya sebelum kalimat itu selesai.
“Perawan atau tidak… itu bukan tolak ukur apakah kau layak diterima atau tidak. Tapi ini…” Kusentuh dadanya. Virgy berangsut memelukku.
# # #
“Wise, cepat bantu mama! Sebentar lagi kita berangkat.”
“Iyaaaaa mama cuanthek” Dengan segera aku muncul di hadapannya dengan senyuman merajuk.
“Kamu itu, sudah tahu hari ini hari penting untuk kakakmu. Tapi masih saja sibuk dengan urusanmu sendiri.” Mama masih mengomel walau masih tetap sibuk menata semua barang untuk sang tuan rumah. Kelebihan emak-emak zaman sekarang. Di saat mengomel, ia masih saja bisa konsentrasi pada pekerjaan yang dilakukannya. Aku merengut mendengar omelan mama.
“Yah mama kok gitu. Urusan Wise kan juga jelas ma. Untuk kuliah. Tidak pakai main. TIdak pakai dugem. Woooo” Mama tertawa melihat bibirku yang semakin maju
“Bibirnya gak usah pake monyong gitu dongggg.”
“Mamaaaaa!!!!!!!!!!”
Kami berangkat, menuju rumah… yang sepertinya tak asing untukku. Rumah…
“Silahkan masuk, calon besan. Mari mari. Kami sudah tidak sabar menunggu tamu spesial” Sambut sang tuan rumah.
“Ah bisa saja. Wise. Ayo dong jangan diam begitu”
Aku masih melongo melihat sosok sang tuan rumah. Semua percakapan mengalir ringan diiringi tawa kegembiraan. Tapi semua tak terdengar di telingaku. Indraku terasa mati. Seperti mumi hidup.
“Wise, kaget ya” Tegur seseorang yang sangat kukenal.
“Maaf, mungkin malam  ini adalah saat yang paling tepat” Lanjut wanita itu seraya menunduk
“Ah kalian ini. Kemarin atau sekarang… itu tidak penting. Dengan pernikahan ini, Dua keluarga akan menjadi satu. Apalagi kalian berdua sudah bersahabat lama. Iya kan Virgy?” Ucap mama. Ia tersenyum menunduk. Tapi aku… sangat gelisah. Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Aku tidak rela ia mendapatkan pria sebaik kakakku. Walaupun itu…sahabatku sendiri.
Satu jam, dua jam berlalu begitu lama. Kamar mandi semakin sering kukunjungi. Terus kutatap wajah mereka, mempertimbangkan semua atas keputusanku.
“Baiklah. Kami dari keluarga ingin melamar putri semata wayang keluarga ini, Virgy Soecipto. Apakah keluarga ini setuju dan menerima lamaran dari putra kami, Dewa Dhruva?
“Saya tidak setuju.”
Semua diam, memandangku. Terpaku atas kalimatku.
“Saya tidak rela dan tidak iklas jika kakak tersayang keluarga kami mendapatkan putri yang  ternoda keperawanannya.”
“Wise!!!” Mama berteriak kencang. Nafasnya menahan amarah. Aku mengerti itu. Aku mengerti dengan kemarahan semua orang di ruangan ini. Tapi aku tidak dapat menahan kemarahanku jika kakak iparku memiliki masa lalu seperti itu. Dan itu tidak layak untuk kakakku.
“Semua ucapan beresiko, Wise. Bisa kamu jelaskan perkataanmu tadi?” Ayah Virgy bersuara sangat berat. Aku masih terdiam. Memandang lantai yang tidak akan memberi solusi apapun.
“Ayah...” Sebuah suara memecah ketegangan di ruangan ini, Virgy. Ia menggenggam tangan ayahnya. Tersenyum dengan mata menatap tajam.
“Wise benar… Virgy tidak perawan lagi.”
Kata-kata itu… sepertinya aku pernah mendengarnya. Ya, diucapkan olehnya juga. Tapi dengan kondisi yang berbeda. Saat itu aku menerimanya. Saat ini aku menolaknya. Saat itu aku memeluknya. Dan saat ini ayahnya menamparnya.
Mama menangis. Kakak terdiam shock. Papa memandangi Virgy dengan kecewa. Orang tua Virgy sangat marah sambil terus bertanya kenapa, kapan, siapa. Dan Virgy… masih tetap membisu memendam semua. Duduk tegap tanpa air mata. Tanpa pandangan menyesal sedikitpun.
Dan apa yang membuatmu merasa sebenar itu, sahabatku.
# # #
“Hai…” Sapaku pada seseorang yang sudah lama hilang dari kehidupanku.
“Hai, apa kabar?” Aku merentangkan tangan seolah menjawab pertanyaanya.
“Jadi… kau tinggal disini?” Ia merentangkan tangan pula seolah menjawab pertanyaanku. Kami tertawa bersamaan.
Mataku menjelajahi seisi rumah dan tertarik menuju  jendela. Angin mengganti kebisuan diantara kami.
“Jadi… kau lebih memilih disini?” Tanyaku masih tetap bersandar di jendela. Lama tak ada jawaban, sampai tak kusadari ia sudah berada di sampingku.
“Begitulah” Jawabnya tersenyum. Sama seperti dulu, ketika kalimat pemulai masalah itu muncul. Aku mendesah. Menatap matanya yang sama sekali tak memberi jawaban sama sekali.
“Kenapa…”
“Kenapa kau tak memberi tahu keluargamu, dengan siapa kau melakukan itu. Kenapa kau lebih memilih diam dan diusir orang yang kau sayang. Dan kenapa sikapmu seolah-olah bahwa ketidakperawanannu adalah benar” Nafasku memburu. Kejadian 3 bulan silam terbesit kembali di hadapanku. Aku menatap matanya. Mata yang sama dengan mata saat malam ia kehilangan keluarga, calon suami dan aku…sahabatnya.
“Kenapa…”
“Masih pentingkah itu, Wise?” Ia menatapku
“Semua sudah berlalu. Sudah  tidak berguna lagi. Kenapa, kapan dan siapa. Dulu atau sekarang. Layak diterima atau tidak. Dan perawan atau tidak” Kalimat terpanjang sejak kejadian malam itu. Penjelasan terpanjang yang juga sama sekali tidak memberiku jawaban.
“Alasan apa hingga melindunginya seperti ini” Aku masih memburu. Meminta jawaban pasti.
“Bukankah aku masih sahabatmu…”
“Yang akan menerimaku dengan kondisi apapun. Perawan atau sudah busuk seperti ini.” Kata-katanya menohok jantungku. Astagfuirullah, aku tidak bermaksud seperti itu sahabatku. Aku…tidak tahu harus menjelaskan apa padamu. Aku…
“Aku tahu itu..” Ia menggenggam tanganku.
Ahhkkk! Kepalaku berputar. Semua seperti De Javu. Mengulang ulang seperti kaset rusak. Aku seperti pesakitan dengan segala kesaksian yang memberatkan posisiku.
“Paling tidak beri aku satu alasan pasti.” Nafasku berat. Tanganku bergetar menahan semua marah, kecewa dan penyesalan.
“Beri aku alasan kuat kenapa kau setia melindungi orang itu.”
Ia sama sekali tak bersuara. Sama sekali tak bergeming. Sama sekali tidak melihatku. Lama dan sangat lama, hingga kuputuskan meninggalkannya. Kututup pintu rumahnya.
“Karena ia adalah pamanku sendiri…”
https://mail.google.com/mail/images/cleardot.gif