Pages

Friday, December 26, 2014

TEMPE MENTAH UNTUK PAYUDARAMU



“Mari bu! Tempe tempe! baru jadi! Mari mari! Murah! Bagus tempenya!”
“Berapa mbak?”
“Dua ribu saja ko bu.”
“Wah? Murah sekali ya. Bagaimana kalau sepuluh ribu saja?”
“Ha??!!”
“Tentu saja. mbak terlalu murah menjual tempe ini. Tentu mbak harus bersusah payah untuk membuatnya.”
“Ah! Ibu sangat pengertian!”
“Seribu lima ratus deh!”
Khayalanku buyar bersamaan dengan suara cempreng yang menawar harga sangat menyiksa batin.
“Ya bu, jangan segitu juga. Modalnya saja belum balik.” Ibu itu merengut.
“Ya sudah saya beli dua. Tapi diskon lima ratus ya!”
Duh Gusti! Apakah mereka tidak tahu proses membuat tempe ini. Lima ratus perak untuk mereka adalah sesuatu yang gampang diperoleh. Tapi bagi kami? Para penjual?
“Kata sape?! Itu kan menurut lu! Kalau emang lima ratus itu gampang buat guwe. Kenapa susah-susah guwe tawar dari tadi!” Mata isi ibu mendelik sembari berkata-kata dalam hati.
Entah siapa yang di perdaya, siapa yang memperdaya. Posisi kami sama-sama sulit. Jadi, saling pengertian adalah hal paling tepat yang dapat dilakukan untuk meredam semua kekecewaan akan lima ratus rupiah.
“Ayo ayo! Tempenya hangat, bu! Beli dua diskon lima ratus rupiah!!”
·          
“Kakak kakak…”
“Ya cantik, ada apa?”
“Hari ini, ada tugas menceritakan sesuatu yang berharga untuk diri sendiri. Si Ani cerita kalau yang berharga untuk dia adalah Hp BB yang baru dibelikan mamanya.” Sekilas kulirik adikku yang terus menguleni kedelai.
“Lalu?”
“Kalau Robby, uang jajan sepuluh ribu setiap hari, kak!!” Matanya berbinar diikuti rasa penasaranku pada setiap laporannya.
“Lalu bagaimana dengan kamu?” Adikku menghela nafas. Dan aku yakin ia menginginkan benda yang dimiliki teman-temannya. Tiba-tiba ia berlari ke tengah dapur, berdiri tegap seakan-akan berada di depan kelas.
“Sesuatu yang berharga untukku adalah…kakak!! Kakak sangat menyayangiku. Kakak tidak pernah mengeluh walau aku tahu kalau kakak sangat cape. Walaupun kakak hanya seorang pembuat tempe. Tapi untuk Fitri, kakak pengusaha kaya. Kakak tidak akan kehabisan semangat, usaha dan sayangnya untuk Fitri. Dan nama kakakku adalah Kak Rini!!!”
Mulutku menganga! Tanganku gemetar! Dan air mataku … meleleh.
“Apa apaan ini?!” Ucapku dalam hati. Bagaimana mungkin dengan sekokoh itu ia menceritakan dan membanggakanku, kakaknya yang hanya seorang pembuat tempe, di hadapan teman-temannya? Bagaimana mungkin ia masih bisa tersenyum? Bagaimana mungkin?? Duh Gustiiiiiii!!! Entah kebahagiaan apa yang kurasa. Aku hanya tertunduk menguleni kedelai yang hampir hancur.

·          
“Kakak kakak!!”
“Apa, cantik?” Kali ini tangan kami tidak sibuk menguleni kedelai.
“Aku boleh tidak minta miniset?” Pertanyaan lugunya membuat bola mataku tak berkedip seketika, lalu bergerak ke arah dadanya yang datar tanpa benjolan sedikitpun.
“U-n-t-u-k   a-p-a?” Wajahnya tiba-tiba bersemu merah sambil menutupi dadanya yang ahhhhh …
“Dada Fitri sudah membesar, kak.” suaranya lirih menahan malu. Agak ragu-ragu aku menyentuh dada adik kecilku. Dan…
“WOW!!?? Memang ada benjolan!!” jeritku dalam hati.
Aku menatap adikku tak percaya. Aku hanya memberi makan tempe, tahu atau kerupuk. Sekalipun tak ada daging yang tentu akan berdampak pada perkembangan hormonnya. Tapi apa ini? Sebegitu cepatkah perkembangan anak zaman sekarang? Mengingat aku baru mengenal miniset saat SMA. Atau akukah yang terlalu lambat?
“Iya kan hehehehe. Tapi kak, aku bingung deh.” Secepat kilat aku menengok ke arahnya lagi. Khawatir akan kejutan lain yang akan diberitahukannya padaku. Misalnya seperti, “kok aku ha…“
“Hanya punya satu dada yang besar?”
“HAA??!!” Tak sadarkan diri, tubuhku langsung bangkit mendengar laporannya.
“Ini liat deh kak. Yang kanan dadanya sudah menonjol. Tapi yang kiri kok rata begini? Ini kak! Tuh liat deh! Iya kan? Dulu kakak begini juga ga?” Tiba-tiba semua kata tak terdengar lagi oleh indra pendengarku. Suara jantungku berpacu lebih kencang saat menatap dadanya yang aneh. Mataku bergerak dari dada kanan ke kiri. Kiri ke kanan. Kanan dan berakhir di kiri. Dan aku hanya terduduk lemas melihatnya yang tetap sangat berbahagia menyambut kedewasaannya yang telah tiba.
·          
“Positif. Ini tumor payudara. Namun belum berakar. Jinak. Dengan ukuran 5 cm x 4 cm x 5 cm.”
Kami terdiam, aku dan adikku. Namun keterdiaman kami jelas berbeda. Adikku terdiam akan ketidakmengertiannya. Dan aku terdiam akan pedih dan sesak akan kondisi adikku.
“Lalu bagaimana, dok?”
“Operasi.” Begitu singkat, padat dan jelas. Pikiranku berkecamuk membayangan berlembar-lembar rupiah yang harus kudapatkan dari tempe-tempe itu.
“Apakah saya masih bisa hidup bila tidak dioperasi, dok?”
Suara kecil itu seakan halilintar yang menyambarku. Kulihat ia menanyakan hal itu dengan senyuman khasnya yang polos. Apa yang kau tanyakan, adikku?  Apakah kau sungguh-sungguh mengerti apa yang sedang kau hadapi, sayangku?
“Tentu saja bapak tidak berhak mengatakan hidup atau tidak. Tapi alangkah baiknya jika membuang penyakit yang ada di dada kamu, pintar.”
“Saya hanya tidak ingin kakak saya khawatir, dokter. Kakak sudah sangat cape. Saya tidak ingin kakak bertambah cape karena aku sakit.” Ia menunduk lesu.
Duh Gustiiiiii!!!! Aku menjerit sekeras-kerasnya!! Mengamuk sejadinya-jadinya!! Merobek hasil USG menjadi serpihan-serpihan yang menghilangkan semua kenyataan!!!
Namun toh hatikulah yang menjadi serpihan saat mendengar kekhawatirannya akanku, kakaknya. Bukan mengenai dirinya sendiri.
Tanganku berkeringat dingin dan tegang.
“Saya ambil operasi, dok. Berkas-berkas atau administrasi apa saja yang harus saya lengkapi?”
Adikku terdiam melihatku. Aku tahu, ia lebih menderita dariku. Dan bukan gerutuan yang ia butuhkan. Tapi semangat.
“Kak …“
“Bukankah Fitri pernah berdiri di depan kelas dan mengatakan sesuatu yang berharga untuk Fitri adalah kakak.” Adikku mengangguk lesu. Aku berlari menuju tanah paling tinggi di hadapan kami.
“Sesuatu yang berharga untukku adalah adikku. Adikku sangat menyayangiku. Ia selalu bersemangat walau sakit dan sulit sekalipun. Adikku tak pernah mengeluh walau aku tahu ia sedih dan sakit karena penyakitnya. Adikku sangat kaya!! Sangat kaya hati, semangat dan usahanya. Dan nama adikku adalah FITRII!!!!”
Pandangan kami beradu. Kali ini kami tidak membiarkan air mata mengendap dan mengerak di hati yang paling dalam, lalu bersembunyi di balik tundukan kepala kami. Saat ini kami membiarkannya mengalir. Seiring pelukan kami yang erat. Seiring keberkahan atas setiap nikmat, sakit, bahagia dan sedih yang kami rasa.
Terima kasih, Gustiku…
·          
“Sudah jangan bergerak terlalu banyak dulu. Nanti jahitannya ga rapet-rapet.” Ia hanya mengangguk lemas menuruti kata-kataku.
“Hari ini adik sudah bisa pulang. Administrasinya silahkan diurus di bagian kasir.” Aku menggangguk dan meninggalkan adikku yang mulai dilepas infusnya.
“Atas nama Fitri, bu.”
“Total kekurangan biayanya dua juta seratus ribu rupiah.”
“Bukankah saya sudah memberikan uang DP sebesar 4 juta? Uang obat sebesar 2 juta pun sudah saya tebus. Kekurangan untuk biaya apa lagi, bu?”
Perawat itu menyerahkan kertas berisikan semua rincian yang sama sekali tidak aku mengerti apa, untuk apa, dan kapan.
“Baik bu, saya akan kembali lagi.” Langkahku mendadak pelan saat melirik uang sembilan ratus ribu di gengggaman tangan.
“Duh, Gustiku…” Aku menghitung kembali uang yang kugenggam. Sembilan ratus ribu. Aku terdiam. Kuhitung kembali. Jumlahnya masih tetap. Tidak bertambah. “Tak ada mukjizat kah, Gusti?”
Kakiku berlari kencang seketika. Jantung berdegup kencang tak karuan.
“Bagaimana bagaimana!!??” Mulutku tertutup rapat. Namun otakku sama sekali tak rapat. Duh Gusti!!!!!!
“Bagaimana ini? Masih mentah?!” Aku terduduk lemas di hadapan tempe mentah yang sama sekali belum terselubung jamur.
“Bagaimana Gustiku, bagaimana?? Masih kurang satu juta dua ratus. Bagaimana Ya Allah, Gustiku???” Aku menunduk gemetar tanpa tangis.
“Masih ada cara kan, Gustiku?! Engkau masih bersamaku kan, Gustiku?! Engkau tak pernah meninggalkanku kan, Gustiku???!!”
Tak kupedulikan pandangan orang sekitar saat lariku menyerupai orang kesurupan. Aku berkeliling sekitar pasar. Kutajamkan telingaku, berharap ada yang mengatakan “Apa ada tempe mentah?” Terus berlari dan berlari, mengharapkan mukzijat.
“Mba? Mba yang biasanya jualan tempe kan?”
“Oh iya bu iya. Ibu butuh tempe mentah kan??” Keningnya  berkerut.
“Mbak, dimana-mana juga yang dibutuhin tempe matang. Ini malah tempe mentah. Baru kali ini ada penjual aneh.” Ia meninggalkanku yang masih berharap. Ia mendekati temannya. Bercakap-cakap, menunjuk, mengangguk-ngangguk, dan akhirnya melihatku yang seperti orang tolol.
“Tempe mentah? Wah, kebetulan sekali saya memang membutuhkan  tempe mentah, mbak!!!”
Aku gemetar mendengar suara surga itu. Air mataku mengalir.
“Bagaimana bisa kudapatkan uang itu dengan tempe mentah ini?” Aku tertunduk dengan imajinasi manis yang kenyataannya hanyalah kumpulan ibu-ibu yang tertawa terkikik-kikik melihatku.
·          
“Suster dan dokter…”
“Ada apa, ibu?” Tertunduk lesu aku dengan diriku sendiri hingga terdengar hela nafas berat.
“Ini...” Uang yang terlihat segepok bagiku, jelas akan terlihat sedikit untuk dokter dan perawat.
“Kekurangannya masih satu juta dua ratus ribu rupiah. Apa anda akan membayar dengan kartu kredit?”
“Ini kartu kredit saya…”
“Apa maksud anda?”
“Saya ingin membayar kekurangan biayanya dengan ini.” Wajahku tertunduk akan suaraku sendiri. Sungguh malu… Tak berani kutatap kedua orang yang ada di hadapanku.
“Dengan tempe mentah??” Akhirnya suara mereka memecah keheningan. Sungguh aku tak berani menjawab pertanyaan mereka. Anggukankupun terasa sangat lemah, menunjukkan keragu-raguan akan tindakanku sendiri. Mereka saling bertatapan keheranan.
“Anda sungguh ingin membayar kekurangan biaya dengan tumpukan tempe mentah ini?”
“Tolonglah, Dokter. Saya tidak tahu apa yang sedang saya lakukan. Tapi saya juga tidak tahu bagaimana cara membayar kekurangan biayanya. Tolonglah saya!! Kumohon!” Mereka berdiri tiba-tiba. Tatatapan mereka sungguh... Aku tak peduli! Aku tak peduli!!
“Tolonglah, dokter! Atau anda ingin membeli tempe ini? Anda tentu banyak uang? Tentu membeli tempe ini tidak akan mengurangi sepeserpun uang anda! Saya mohon! Mohon!!!!!”
“KAKAKKK!!!!” Ia menatapku nanar dan sedih. Air matanya mengalir seakan tak percaya, melihat kakak yang ia banggakan merangkak, memelas penuh kepicikan. Aku sungguh tak sanggup…
“Maafkan aku… “ Suara lirih di sela simpuhku di antara ketiga orang yang berdiri tegak di sekitarku. Sunggguh pemandangan memilukan dan menghinakan.
Adikku memungut satu-persatu tempe mentah yang berjatuhan di lantai.
“Maafkan kami, suster dokter. Kakakku hanya sangat mencintaiku, sehingga bertindak seperti itu.
Kami akan segera melunasinya. Kami tak akan kabur dari sini.” Genggaman tangannya yang dingin
menuntunku keluar ruangan. Ia tak berucap sedikitpun.
“Maaf…” Itulah kata-kata pertama sepanjang kebisuan kami. Ia tetap diam. Aku menunduk lesu. Tak berani memandang wajah adik kecilku. Kami terdiam terbisu diantara kebisingan ruang rawat inap kelas 3. Orang hilir mudik menjenguk, berbincang dan mondar mandir di sekitar kami. Sungguh kebisingan yang tak layak berada di rumah sakit, tapi sama sekali tak kami rasakan.
“Bu, Si kakak aneh-aneh aja deh ngidamnya.”
“Sebenarnya tidak aneh, pak. Tapi yang bikin bingung, bagaimana mengirimnya? Bukannya pasti busuk ya kalau dikirim ke Amerika?”
“Terus bagaimana, bu?” Percakapan mereka terputus.
Hah, sungguh… bukan hanya kami saja yang dalam keruwetan. Siapapun, dengan permasalahan yang berbeda.
“Kalau mentah? Mana ada yang jualan tempe mentah sore-sore begini ya, hemh…”
Tiba-tiba kepalaku dan adikku berputar 180 derajat. Seakan-akan kami menemukan harta karun tak ternilai saat melihat wajah kedua orang tua yang berada di belakang kami.
“Apa si mereka. Nguping pembicaraan kita ya? Apa mereka kaget karena anak kita ada di Amerika?” Tawa kami pecah saat suara bisik sang ibu terdengar amat jelas di telinga kami, menambah bisingnya ruang rawat inap kelas 3 ini.
Mata kami berdua saling memandang dan senyuman merekah pada akhirnya.