“Mari
bu! Tempe tempe! baru jadi! Mari mari! Murah! Bagus tempenya!”
“Berapa
mbak?”
“Dua
ribu saja ko bu.”
“Wah?
Murah sekali ya. Bagaimana kalau sepuluh ribu saja?”
“Ha??!!”
“Tentu
saja. mbak terlalu murah menjual tempe ini. Tentu mbak harus bersusah payah
untuk membuatnya.”
“Ah!
Ibu sangat pengertian!”
“Seribu
lima ratus deh!”
Khayalanku
buyar bersamaan dengan suara cempreng yang menawar harga sangat menyiksa batin.
“Ya
bu, jangan segitu juga. Modalnya saja belum balik.” Ibu itu merengut.
“Ya
sudah saya beli dua. Tapi diskon lima ratus ya!”
Duh
Gusti! Apakah mereka tidak tahu proses membuat tempe ini. Lima ratus perak
untuk mereka adalah sesuatu yang gampang diperoleh. Tapi bagi kami? Para
penjual?
“Kata
sape?! Itu kan menurut lu! Kalau emang lima ratus itu gampang buat guwe. Kenapa
susah-susah guwe tawar dari tadi!” Mata isi ibu mendelik sembari berkata-kata
dalam hati.
Entah
siapa yang di perdaya, siapa yang memperdaya. Posisi kami sama-sama sulit.
Jadi, saling pengertian adalah hal paling tepat yang dapat dilakukan untuk
meredam semua kekecewaan akan lima ratus rupiah.
“Ayo
ayo! Tempenya hangat, bu! Beli dua diskon lima ratus rupiah!!”
·
“Kakak
kakak…”
“Ya
cantik, ada apa?”
“Hari
ini, ada tugas menceritakan sesuatu yang berharga untuk diri sendiri. Si Ani
cerita kalau yang berharga untuk dia adalah Hp BB yang baru dibelikan mamanya.”
Sekilas kulirik adikku yang terus menguleni kedelai.
“Lalu?”
“Kalau
Robby, uang jajan sepuluh ribu setiap hari, kak!!” Matanya berbinar diikuti rasa
penasaranku pada setiap laporannya.
“Lalu
bagaimana dengan kamu?” Adikku menghela nafas. Dan aku yakin ia menginginkan benda
yang dimiliki teman-temannya. Tiba-tiba ia berlari ke tengah dapur, berdiri
tegap seakan-akan berada di depan kelas.
“Sesuatu
yang berharga untukku adalah…kakak!! Kakak sangat menyayangiku. Kakak tidak
pernah mengeluh walau aku tahu kalau kakak sangat cape. Walaupun kakak hanya
seorang pembuat tempe. Tapi untuk Fitri, kakak pengusaha kaya. Kakak tidak akan
kehabisan semangat, usaha dan sayangnya untuk Fitri. Dan nama kakakku adalah
Kak Rini!!!”
Mulutku
menganga! Tanganku gemetar! Dan air mataku … meleleh.
“Apa
apaan ini?!” Ucapku dalam hati. Bagaimana mungkin dengan sekokoh itu ia
menceritakan dan membanggakanku, kakaknya yang hanya seorang pembuat tempe, di
hadapan teman-temannya? Bagaimana mungkin ia masih bisa tersenyum? Bagaimana
mungkin?? Duh Gustiiiiiii!!! Entah kebahagiaan apa yang kurasa. Aku hanya
tertunduk menguleni kedelai yang hampir hancur.
·
“Kakak kakak!!”
“Apa, cantik?” Kali ini tangan kami tidak sibuk
menguleni kedelai.
“Aku boleh tidak minta miniset?”
Pertanyaan lugunya membuat bola mataku tak berkedip seketika, lalu bergerak ke
arah dadanya yang datar tanpa benjolan sedikitpun.
“U-n-t-u-k a-p-a?”
Wajahnya tiba-tiba bersemu merah sambil menutupi dadanya yang ahhhhh …
“Dada Fitri sudah membesar, kak.” suaranya
lirih menahan malu. Agak ragu-ragu aku menyentuh dada adik kecilku. Dan…
“WOW!!?? Memang ada benjolan!!” jeritku
dalam hati.
Aku menatap adikku tak percaya. Aku hanya
memberi makan tempe, tahu atau kerupuk. Sekalipun tak ada daging yang tentu
akan berdampak pada perkembangan hormonnya. Tapi apa ini? Sebegitu cepatkah
perkembangan anak zaman sekarang? Mengingat aku baru mengenal miniset saat SMA.
Atau akukah yang terlalu lambat?
“Iya kan hehehehe. Tapi kak, aku bingung
deh.” Secepat kilat aku menengok ke arahnya lagi. Khawatir akan kejutan lain
yang akan diberitahukannya padaku. Misalnya seperti, “kok aku ha…“
“Hanya punya satu dada yang besar?”
“HAA??!!” Tak sadarkan diri, tubuhku
langsung bangkit mendengar laporannya.
“Ini liat deh kak. Yang kanan dadanya
sudah menonjol. Tapi yang kiri kok rata begini? Ini kak! Tuh liat deh! Iya kan?
Dulu kakak begini juga ga?” Tiba-tiba semua kata tak terdengar lagi oleh indra
pendengarku. Suara jantungku berpacu lebih kencang saat menatap dadanya yang
aneh. Mataku bergerak dari dada kanan ke kiri. Kiri ke kanan. Kanan dan
berakhir di kiri. Dan aku hanya terduduk lemas melihatnya yang tetap sangat
berbahagia menyambut kedewasaannya yang telah tiba.
·
“Positif. Ini tumor payudara. Namun belum
berakar. Jinak. Dengan ukuran 5 cm x 4 cm x 5 cm.”
Kami terdiam, aku dan adikku. Namun
keterdiaman kami jelas berbeda. Adikku terdiam akan ketidakmengertiannya. Dan
aku terdiam akan pedih dan sesak akan kondisi adikku.
“Lalu bagaimana, dok?”
“Operasi.” Begitu singkat, padat dan
jelas. Pikiranku berkecamuk membayangan berlembar-lembar rupiah yang harus
kudapatkan dari tempe-tempe itu.
“Apakah saya masih bisa hidup bila tidak
dioperasi, dok?”
Suara kecil itu seakan halilintar yang
menyambarku. Kulihat ia menanyakan hal itu dengan senyuman khasnya yang polos.
Apa yang kau tanyakan, adikku? Apakah
kau sungguh-sungguh mengerti apa yang sedang kau hadapi, sayangku?
“Tentu saja bapak tidak berhak mengatakan
hidup atau tidak. Tapi alangkah baiknya jika membuang penyakit yang ada di dada
kamu, pintar.”
“Saya hanya tidak ingin kakak saya
khawatir, dokter. Kakak sudah sangat cape. Saya tidak ingin kakak bertambah
cape karena aku sakit.” Ia menunduk lesu.
Duh Gustiiiiii!!!! Aku menjerit
sekeras-kerasnya!! Mengamuk sejadinya-jadinya!! Merobek hasil USG menjadi
serpihan-serpihan yang menghilangkan semua kenyataan!!!
Namun toh hatikulah yang menjadi serpihan saat
mendengar kekhawatirannya akanku, kakaknya. Bukan mengenai dirinya sendiri.
Tanganku berkeringat dingin dan tegang.
“Saya ambil operasi, dok. Berkas-berkas
atau administrasi apa saja yang harus saya lengkapi?”
Adikku terdiam melihatku. Aku tahu, ia
lebih menderita dariku. Dan bukan gerutuan yang ia butuhkan. Tapi semangat.
“Kak …“
“Bukankah Fitri pernah berdiri di depan
kelas dan mengatakan sesuatu yang berharga untuk Fitri adalah kakak.” Adikku
mengangguk lesu. Aku berlari menuju tanah paling tinggi di hadapan kami.
“Sesuatu yang berharga untukku adalah
adikku. Adikku sangat menyayangiku. Ia selalu bersemangat walau sakit dan sulit
sekalipun. Adikku tak pernah mengeluh walau aku tahu ia sedih dan sakit karena
penyakitnya. Adikku sangat kaya!! Sangat kaya hati, semangat dan usahanya. Dan
nama adikku adalah FITRII!!!!”
Pandangan kami beradu. Kali ini kami tidak
membiarkan air mata mengendap dan mengerak di hati yang paling dalam, lalu
bersembunyi di balik tundukan kepala kami. Saat ini kami membiarkannya mengalir.
Seiring pelukan kami yang erat. Seiring keberkahan atas setiap nikmat, sakit,
bahagia dan sedih yang kami rasa.
Terima kasih, Gustiku…
·
“Sudah
jangan bergerak terlalu banyak dulu. Nanti jahitannya ga rapet-rapet.” Ia hanya
mengangguk lemas menuruti kata-kataku.
“Hari
ini adik sudah bisa pulang. Administrasinya silahkan diurus di bagian kasir.”
Aku menggangguk dan meninggalkan adikku yang mulai dilepas infusnya.
“Atas
nama Fitri, bu.”
“Total
kekurangan biayanya dua juta seratus ribu rupiah.”
“Bukankah
saya sudah memberikan uang DP sebesar 4 juta? Uang obat sebesar 2 juta pun
sudah saya tebus. Kekurangan untuk biaya apa lagi, bu?”
Perawat
itu menyerahkan kertas berisikan semua rincian yang sama sekali tidak aku
mengerti apa, untuk apa, dan kapan.
“Baik
bu, saya akan kembali lagi.” Langkahku mendadak pelan saat melirik uang
sembilan ratus ribu di gengggaman tangan.
“Duh,
Gustiku…” Aku menghitung kembali uang yang kugenggam. Sembilan ratus ribu. Aku
terdiam. Kuhitung kembali. Jumlahnya masih tetap. Tidak bertambah. “Tak ada
mukjizat kah, Gusti?”
Kakiku
berlari kencang seketika. Jantung berdegup kencang tak karuan.
“Bagaimana
bagaimana!!??” Mulutku tertutup rapat. Namun otakku sama sekali tak rapat. Duh
Gusti!!!!!!
“Bagaimana
ini? Masih mentah?!” Aku terduduk lemas di hadapan tempe mentah yang sama
sekali belum terselubung jamur.
“Bagaimana
Gustiku, bagaimana?? Masih kurang satu juta dua ratus. Bagaimana Ya Allah,
Gustiku???” Aku menunduk gemetar tanpa tangis.
“Masih
ada cara kan, Gustiku?! Engkau masih bersamaku kan, Gustiku?! Engkau tak pernah
meninggalkanku kan, Gustiku???!!”
Tak
kupedulikan pandangan orang sekitar saat lariku menyerupai orang kesurupan. Aku
berkeliling sekitar pasar. Kutajamkan telingaku, berharap ada yang mengatakan “Apa
ada tempe mentah?” Terus berlari dan berlari, mengharapkan mukzijat.
“Mba?
Mba yang biasanya jualan tempe kan?”
“Oh
iya bu iya. Ibu butuh tempe mentah kan??” Keningnya berkerut.
“Mbak,
dimana-mana juga yang dibutuhin tempe matang. Ini malah tempe mentah. Baru kali
ini ada penjual aneh.” Ia meninggalkanku yang masih berharap. Ia mendekati
temannya. Bercakap-cakap, menunjuk, mengangguk-ngangguk, dan akhirnya melihatku
yang seperti orang tolol.
“Tempe
mentah? Wah, kebetulan sekali saya memang membutuhkan tempe mentah, mbak!!!”
Aku
gemetar mendengar suara surga itu. Air mataku mengalir.
“Bagaimana
bisa kudapatkan uang itu dengan tempe mentah ini?” Aku tertunduk dengan
imajinasi manis yang kenyataannya hanyalah kumpulan ibu-ibu yang tertawa
terkikik-kikik melihatku.
·
“Suster
dan dokter…”
“Ada
apa, ibu?” Tertunduk lesu aku dengan diriku sendiri hingga terdengar hela nafas
berat.
“Ini...”
Uang yang terlihat segepok bagiku, jelas akan terlihat sedikit untuk dokter dan
perawat.
“Kekurangannya
masih satu juta dua ratus ribu rupiah. Apa anda akan membayar dengan kartu
kredit?”
“Ini
kartu kredit saya…”
“Apa
maksud anda?”
“Saya
ingin membayar kekurangan biayanya dengan ini.” Wajahku tertunduk akan suaraku
sendiri. Sungguh malu… Tak berani kutatap kedua orang yang ada di hadapanku.
“Dengan
tempe mentah??” Akhirnya suara mereka memecah keheningan. Sungguh aku tak
berani menjawab pertanyaan mereka. Anggukankupun terasa sangat lemah,
menunjukkan keragu-raguan akan tindakanku sendiri. Mereka saling bertatapan
keheranan.
“Anda
sungguh ingin membayar kekurangan biaya dengan tumpukan tempe mentah ini?”
“Tolonglah,
Dokter. Saya tidak tahu apa yang sedang saya lakukan. Tapi saya juga tidak tahu
bagaimana cara membayar kekurangan biayanya. Tolonglah saya!! Kumohon!” Mereka
berdiri tiba-tiba. Tatatapan mereka sungguh... Aku tak peduli! Aku tak peduli!!
“Tolonglah,
dokter! Atau anda ingin membeli tempe ini? Anda tentu banyak uang? Tentu
membeli tempe ini tidak akan mengurangi sepeserpun uang anda! Saya mohon! Mohon!!!!!”
“KAKAKKK!!!!”
Ia menatapku nanar dan sedih. Air matanya mengalir seakan tak percaya, melihat
kakak yang ia banggakan merangkak, memelas penuh kepicikan. Aku sungguh tak
sanggup…
“Maafkan
aku… “ Suara lirih di sela simpuhku di antara ketiga orang yang berdiri tegak
di sekitarku. Sunggguh pemandangan memilukan dan menghinakan.
Adikku
memungut satu-persatu tempe mentah yang berjatuhan di lantai.
“Maafkan
kami, suster dokter. Kakakku hanya sangat mencintaiku, sehingga bertindak
seperti itu.
Kami
akan segera melunasinya. Kami tak akan kabur dari sini.” Genggaman tangannya
yang dingin
menuntunku
keluar ruangan. Ia tak berucap sedikitpun.
“Maaf…”
Itulah kata-kata pertama sepanjang kebisuan kami. Ia tetap diam. Aku menunduk
lesu. Tak berani memandang wajah adik kecilku. Kami terdiam terbisu diantara
kebisingan ruang rawat inap kelas 3. Orang hilir mudik menjenguk, berbincang
dan mondar mandir di sekitar kami. Sungguh kebisingan yang tak layak berada di
rumah sakit, tapi sama sekali tak kami rasakan.
“Bu,
Si kakak aneh-aneh aja deh ngidamnya.”
“Sebenarnya
tidak aneh, pak. Tapi yang bikin bingung, bagaimana mengirimnya? Bukannya pasti
busuk ya kalau dikirim ke Amerika?”
“Terus
bagaimana, bu?” Percakapan mereka terputus.
Hah,
sungguh… bukan hanya kami saja yang dalam keruwetan. Siapapun, dengan
permasalahan yang berbeda.
“Kalau
mentah? Mana ada yang jualan tempe mentah sore-sore begini ya, hemh…”
Tiba-tiba
kepalaku dan adikku berputar 180 derajat. Seakan-akan kami menemukan harta
karun tak ternilai saat melihat wajah kedua orang tua yang berada di belakang
kami.
“Apa
si mereka. Nguping pembicaraan kita ya? Apa mereka kaget karena anak kita ada
di Amerika?” Tawa kami pecah saat suara bisik sang ibu terdengar amat jelas di
telinga kami, menambah bisingnya ruang rawat inap kelas 3 ini.
Mata
kami berdua saling memandang dan senyuman merekah pada akhirnya.