ISTRIKU BEKAS PELACUR
“Aku
hanya pelacur, mas?”
“Dulu
sayang …”
“Tapi
tubuhku sudah dipakai berpuluh puluh lelaki …” Suara wanita itu bertambah
gelisah
“Sayangnya
aku tidak tertarik pada tubuhmu Aku hanya tertarik pada hati dan imanmu saat
ini.” Mereka saling memandang satu sama lain. Tangan hangat sang pria
menggenggam tangan sang wanita yang mulai dingin. Bukan akan suhu yang dingin.
Tapi karena lamaran seseorang yang begitu tak masuk akal, di hadapannya maupun
orang lain.
“Tidak
cukupkah itu sebagai alasan kenapa aku mecintaimu?” Safir tersentak. Di
hadapannya berdiri seorang pria yang bersedia menerima seegala keterbatasannya
sebagai seorang istri, Satrio.
***
“Pentingkah
statusmu dulu?”
“Pertanyaan
apa itu? Pentingkah statusku dulu?” Safir bertanya dengan mata nanar.
“Kau
tidak butuh status. Hiduplah dengan dirimu yang sekarang.”
“Tapi
mereka butuh, mas! Tetangga, masyarakat, bahkan orang berintellektual
tinggipunmembuthkan status!” Suaranya meninggi. Untuk pertama kalinya ia
membentak orang yang paling mencintainya, melindunnginya dari tatapan sinis
orang di sekitar. Penyesalan menyeruak ketika Satrio sama sekali tidak
membantah semua ucapannya. Ia merengkuhnya, hangat…
“Maafkan
aku…”
***
“Janga
lagi kau katakan bahwa kau menikahiku karena hati dan imanku.”
“Kenapa?
Memang begitulah adanya.” Satrio menatap Safir yang kini mondar mandir di
hadapannya. Tidak seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya. Pertengkarana
malam ini begitu panas. Safir tertunduk lesu saat mengetahui orang yang telah
menjadi orang tua keduannya menggunjingkkan menantunya sendiri di hadapan
keluarga. Kenapa? Kenapa?
“Aku
capek, mas. Aku capek dengan bisikan dan gunjingan mereka! Mata mereka begitu
menuduhkalau jilbabku ini hanyalah kedok agar aku diterima di keluargamu, di
lingkungan ini!” Tidak ada lagi sanggahan. Mata Satrio mengiba saat nafas
istrinya semakin memburu. Safir menjatuhkan diri di puncak amarahnya. Begitu
lelah beban yang dirasa di pikirannya.
“Mereka
benar…” Bisiknya lirih.
“Aku
memang tidak pantas untukmu. Tidak seharusnya kau mendapatkan wanita bekas
seperti ini.” Tunjuk Safir pada diri sendiri.
“Kau
berhak mendapatkan wanita yang layak. Yang sederajat denganmu. Dan itu bukan
aku…” Air mata Satrio jatuh. Kali ini suaranya begitu tercekat di tenggorokan,
begitu sesak dan berat.
“Tidak
cukupkah satu pernikahan kita sebagai buktinya, sayang…” Tanya Satrio gemetar
“Aku
per…”
“Atau
kau tidak bahagia denganku, Safir?” Mata lelaki kokoh itu berkaca kaca.
“Bukan.
Aku bahagia Sangat bahagia.”
“Lalu?
Apa?” Kini tak hanya Satrio, Safirpun menangis kelu. Kelu akan posisinya yang
terpojok dari pandangan yang begitu sempit. Kelu akan semua pertengkaran sama
yang tak pernah berhenti dan selalu terjadi.
“Lalu
apa, Safir?” tanyanya getir. Safir meringkuk di kaki suaminya. Diciumnya tangan
suaminya, takdzim. Tangan yang telah menopangnya, tangan yang telah
menuntunnyau. Tanpa berani menatap Satrio, ia mengulangi pernyataan yang
bercokol di hatinya.
“Ceraikan
aku …”
***
Seperti
hari-hari sebelumnya. Satrio selalu memandangi istrinya yang baru pulang kerja.
Namun, kali ini ia tidak menyambut Safir di rumah, tapi di seberang jalan
rumahnya. Layaknya seorang penguntit.
Kesepakatan
diputuskan diantara mereka berdua. Kelegaan dirasakan Satrio saat Safir
menerima keputusan untuk berpisah sementara, bukan bercerai. Walau tanpa
komunikasi dan bertemu selama dua minggu lamanya.
Satrio
mengamati rumahnya yang mulai terang. Perlahan bayangan tubuh Safir bergerak
dari satu ruangan ke ruangan lainnya, hingga berhenti di sebuah ruangan. Tampak
bayangan Safir memegangi wajahnya dengan bahu terguncang. Ingin sekali ia
berlari memeluknya. Namun, kesepakatan menghalangi.
Memori
seakan tertarik ke masa lampau, ketika ia memutuskan hal besar dalam hidupnya.
Tanpa mempedulikan atau memusingkan masa lalu sang calon istri, Safir Sang
Pelacur. Segala kelebihan dan kekurangan sang istri dipandang sebagai sebuah
keterbatasan seorang manusia dan itu diterima seperti dia menerima dirinya apa
adanya.
Satrio
tahu akan semua kenyataan yang terjadi. Kenyataan bahwa semua orang akan
menghormati dan menghargai Safir sebagai manusia, jika Satrio ada di
sampingnnya. Namun bila ia tak ada, semua topeng dan sandiwara selesai.
Tidak
ada lagi jamaah sholat yang mau satu shaf dengannya. Tidak ada lagi orang yang
mau membalas sapaannya. Dan tidak ada lagi orang yang membiarkan anaknya berada
di dekat Safir, termasuk mertuanya sendiri.
Satrio
menghela nafas panjang. Ia memijit kening yang sebenarnya tak pening. Kenapa
mereka begitu angkuh? Ia masih teringat saat untuk pertama kalinya ia melihat
pengucilan yang benar-benar menyesakkan hati. Dan itu terjadi pada Safir,
istrinya sendiri. Bahkan ibu tidak percaya pada jilbab yang dikenakan Safir. Ia
hanya menganggap jilbab hanyalah sebuah kedok semata.
Mengapa
pemikiran mereka begitu sempit? Mengapa pandangan mereka hanya terukur pada
status sosial dan pakaian yang dikenakan.
Matanya
tertuju pada bayanga tubuh Safir. Diingat-ingatnya kembali sholat jamaah antara
ia dan Safir, pengabdiannya sebagai seorang istri. Wanita yang ternyata tidak
hanya berperan sebagai pendamping hidup, tapi juga guru dan sahabat. Dan itu
semmua diberikannya tampa meminta atau diminta.
Tanpa
disadari air mata menetes dari lelaki kokoh itu. Dipandanginya lampu yang mulai
padam. Safir sudah tidur, perlahan Satrio mendekati rumahnya. Berharap dapat
memandang wajah Safir atau paling tidak menghirup aroma rumah yang ia rindukan.
Dan untuk sekian kalinnya ia menginggalkan rumah itu. Dan akan kembali
memandangi bayangan istrinya saat malam datang.
***
Malam
in genap satu hari sebelum perjanjian mereka usai. Dan seperti malam-malam sebelumnya,
Satrio meluapkan rasa rindu walaupun terlambat setengah jam dari biasanya.
Rumahnya masih terlihat lengnag dan gelap.
“Safir
belum pulang? Tidak seperti biasanya”
Sayup-sayup
terdengar suara gaduh dari seberang gang, hal biasa di lingkungan rumahnya.
Lima belas menit berlalu, namun Safir belum juga muncul. Ia yakin istrinya
belum pulang.
“Ataukah?”
Satrio menggelengkan kepala. Ia memukul kepalanya sendiri.
“Bisa-bisanya
aku mencurigai istriku sendiri! Tidak! Safir bukan wanita seperti itu! Ia akan
menjaga kehormatan walaupun tidak ada aku.”
Malam
yang semakin larut memaksa Satrio menghubungi istrinya. Ditimangnya handphone
yang ada di genggaman. Tertulis nama “istriku” disana, namun tangan Satrio
tidak juga memencet tombol “call”. Suara gaduh semakin mengganggu, sepertinya
bukan kegaduhan seperti biasanya. Keeingintahuan seakan memaksanya mendekati
kegaduhan itu.
“Astagfirullah!!!”
Satrio berlari menuju kerumunan massa yang seperti sedang menghakimi seseorang.
Ia tidak berani ikut campur, tapi penasaran terlalu besar untuk dibendung.
Seorang
wanita jatuh terjerembab di tanah. Terkulai lemah menerima cacian, ludahan dan
terkadang tendangan beringas warga. Air mata jatuh seketika di wajah Satrio.
“Berhenti!!
Berhenti!!” Satrio berteriak diantara amukan massa. Tarikan paksa dan
teriakannya sama sekali tidak menghentikan amukan orang-orang.
“Berhenti!!
Berhenti kataku!!!” Kali inipun tidak ada reaksi. Tidak ada gunanya! Pekiknya dalam
hati, mereka bukan lagi manusia, tapi setan yang berwujud manusia. Safir
disana, meringkuk kesakitan.
Pukulan
yang membabi buta tidak lagi dirasakan Safir yang hampir pingsan. Apakah mereka
sudah puas memukuliku? Atau memang aku yang sudah mati? Namun ia merasakan
sesuatu yang berbeda. Ia mengenali harum tubuh yang saat ini sedang
mendekapnya, melindungi tubuhnya. Genggaman tangan ini…
“Satrio…”
ucapnya lirih. Seketika itu ia menangis, namun hal itulah yang memicu kemarahan
Satrio.
“Berhenti!”
bisiknya dalam hati, namun toh hati nurani tak bisa mendengarkan jeritan hati
nurani lainnya.
“Berhenti
memukuli istriku!” Jeritnya lagi.
“BERHENTI!!”
teriaknya lantang. Satrio benar benar geram, nafasnya tersengal-sengal di sela
teriakan massa yang mendadak hilang.
“Kenapa??!!
Kenapa kalian memukulinya?!’
“Kenapa
katamu!? Ia pelacur! Ia berhak mendapatkan ini!”
“Ia
tidak pantas hidup di lingkungan kami!” Seorang laki laki maju menodngkan kayu
pada Safir. Geraham Satrio bergemeretak.
“Hanya
itu?”
“Hanya
itu katamu! Kau ini sebenarnya pernah sekolah atau tidak?!”
“Ya
benar! Karena adanya dia, lingkungan kami disebut sebagai desa prostitusi!”
“Tapi
kini ia bukan pelacur lagi!” Teriak Satrio semakin tidak mengerti.
“Akh!
Tidak ada bedanya! Dulu, sekarang atau besok! Pelacur ya tetap pelacur!” Provokasi
seorang wanita yang diikuti sorak sorai seluruh warga.
“Tidak
bisakah kalian memberi dia kesempatan!? Ia sudah bertobat! Ia tidak lagi
seperti dulu! Beri dia sedikit…Sedikit saja celah…” lirih suaranya, meminta pengertian
mereka.
“Kenapa
kalian menuntut wanita ini untuk selalu bersih dan bersih… Apa kalian sudah
menjadi Tuhan yang menghakimi sesorang sebagai najis dan dosa hingga tak
terampunkan?” Tidak ada lagi sahutan, hanya angin malam yang menderu, menjadi
irama kelu bagi Satrio.
“Sebenarnya
apa urusanmu dengan wanita ini?!”
“Atau
jangan-jangan kau orang yang selalu menidurinya setiap malam hah!?” Darah
seakan-akan mencapai batasnya. Mata Satrio menggelap, tubuhnya menahan
kemarahan. Tangannya menunjuk tubuh Safir yang tidak bisa apa-apa.
“Kalian
mau tahu siapa wanita ini hah!? Kalian masih peduli siapa dia?!” Teriaknya
tidak terkendali. Entah apa yang terjadi, tapi warga beringsut mundur melihat
Satrio yang mengamuk.
“Bekas
pelacur ini? Bekas pelacur ini adalah ISTRIKU!!”
Berbisik,
semuanya. Menggelengkan kepala, semua. Mata tajam Satrio tidak berhenti
menghujam mereka. Kepongahan dan keangkuhan mereka sebelumnya berganti dengan
ketidakmengertian. Satu persatu mulai pergi dengan rasa malu, penasaran dan
risih yang menggelayuti pikiran mereka. Tempat itu kini lengang, tinggal Satrio
dan Safir. Dinginnya malam tak lagi dirasa.
“Mas…”
Suara serak itu tertahan oleh senyuman hangat Satrio. Seluruh sakit yang
menyiksa dapat ditahan tubuh Satrio yang memeluk tubuhnya. Safir tidak lagi
bisa menahan isaknya, begitu pula Satrio.
“Sudah
kukatakan, aku akan selalu di sampingmu. Apapun yang terjadi…” Bisik Satrio
mengecup kening istrinya.
“Dan
aku tidak akan meninggalkanmu seperti ini lagi. Apapun yang terjadi, walau kau
mengamuk! Walau aku harus menerima kemarahanmu!” Entah apa yang lucu, tapi saat
ini mereka berdua tertawa. Ya mereka hanya tertawa tanpa harus tahu apa yang
sedang ditertawakan.
Kesepakatan
itu tidak lagi berlaku walau belum genap hari. Tapi tidak seperti malam-malam
yang sebelumnya, Safir dan Satrio membiarkan pelanggaran itu terjadi. Dengan
tawa.
No comments:
Post a Comment