Pages

Friday, March 20, 2015

Istriku Bekas Pelacur



ISTRIKU BEKAS PELACUR

“Aku hanya pelacur, mas?”
“Dulu sayang …”
“Tapi tubuhku sudah dipakai berpuluh puluh lelaki …” Suara wanita itu bertambah gelisah
“Sayangnya aku tidak tertarik pada tubuhmu Aku hanya tertarik pada hati dan imanmu saat ini.” Mereka saling memandang satu sama lain. Tangan hangat sang pria menggenggam tangan sang wanita yang mulai dingin. Bukan akan suhu yang dingin. Tapi karena lamaran seseorang yang begitu tak masuk akal, di hadapannya maupun orang lain.
“Tidak cukupkah itu sebagai alasan kenapa aku mecintaimu?” Safir tersentak. Di hadapannya berdiri seorang pria yang bersedia menerima seegala keterbatasannya sebagai seorang istri, Satrio.
***
“Pentingkah statusmu dulu?”
“Pertanyaan apa itu? Pentingkah statusku dulu?” Safir bertanya dengan mata nanar.
“Kau tidak butuh status. Hiduplah dengan dirimu yang sekarang.”
“Tapi mereka butuh, mas! Tetangga, masyarakat, bahkan orang berintellektual tinggipunmembuthkan status!” Suaranya meninggi. Untuk pertama kalinya ia membentak orang yang paling mencintainya, melindunnginya dari tatapan sinis orang di sekitar. Penyesalan menyeruak ketika Satrio sama sekali tidak membantah semua ucapannya. Ia merengkuhnya, hangat…
“Maafkan aku…”
***
“Janga lagi kau katakan bahwa kau menikahiku karena hati dan imanku.”
“Kenapa? Memang begitulah adanya.” Satrio menatap Safir yang kini mondar mandir di hadapannya. Tidak seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya. Pertengkarana malam ini begitu panas. Safir tertunduk lesu saat mengetahui orang yang telah menjadi orang tua keduannya menggunjingkkan menantunya sendiri di hadapan keluarga. Kenapa? Kenapa?
“Aku capek, mas. Aku capek dengan bisikan dan gunjingan mereka! Mata mereka begitu menuduhkalau jilbabku ini hanyalah kedok agar aku diterima di keluargamu, di lingkungan ini!” Tidak ada lagi sanggahan. Mata Satrio mengiba saat nafas istrinya semakin memburu. Safir menjatuhkan diri di puncak amarahnya. Begitu lelah beban yang dirasa di pikirannya.
“Mereka benar…” Bisiknya lirih.
“Aku memang tidak pantas untukmu. Tidak seharusnya kau mendapatkan wanita bekas seperti ini.” Tunjuk Safir pada diri sendiri.
“Kau berhak mendapatkan wanita yang layak. Yang sederajat denganmu. Dan itu bukan aku…” Air mata Satrio jatuh. Kali ini suaranya begitu tercekat di tenggorokan, begitu sesak dan berat.
“Tidak cukupkah satu pernikahan kita sebagai buktinya, sayang…” Tanya Satrio gemetar
“Aku per…”
“Atau kau tidak bahagia denganku, Safir?” Mata lelaki kokoh itu berkaca kaca.
“Bukan. Aku bahagia Sangat bahagia.”
“Lalu? Apa?” Kini tak hanya Satrio, Safirpun menangis kelu. Kelu akan posisinya yang terpojok dari pandangan yang begitu sempit. Kelu akan semua pertengkaran sama yang tak pernah berhenti dan selalu terjadi.
“Lalu apa, Safir?” tanyanya getir. Safir meringkuk di kaki suaminya. Diciumnya tangan suaminya, takdzim. Tangan yang telah menopangnya, tangan yang telah menuntunnyau. Tanpa berani menatap Satrio, ia mengulangi pernyataan yang bercokol di hatinya.
“Ceraikan aku …”

***

Seperti hari-hari sebelumnya. Satrio selalu memandangi istrinya yang baru pulang kerja. Namun, kali ini ia tidak menyambut Safir di rumah, tapi di seberang jalan rumahnya. Layaknya seorang penguntit.
Kesepakatan diputuskan diantara mereka berdua. Kelegaan dirasakan Satrio saat Safir menerima keputusan untuk berpisah sementara, bukan bercerai. Walau tanpa komunikasi dan bertemu selama dua minggu lamanya.
Satrio mengamati rumahnya yang mulai terang. Perlahan bayangan tubuh Safir bergerak dari satu ruangan ke ruangan lainnya, hingga berhenti di sebuah ruangan. Tampak bayangan Safir memegangi wajahnya dengan bahu terguncang. Ingin sekali ia berlari memeluknya. Namun, kesepakatan menghalangi.
Memori seakan tertarik ke masa lampau, ketika ia memutuskan hal besar dalam hidupnya. Tanpa mempedulikan atau memusingkan masa lalu sang calon istri, Safir Sang Pelacur. Segala kelebihan dan kekurangan sang istri dipandang sebagai sebuah keterbatasan seorang manusia dan itu diterima seperti dia menerima dirinya apa adanya.
Satrio tahu akan semua kenyataan yang terjadi. Kenyataan bahwa semua orang akan menghormati dan menghargai Safir sebagai manusia, jika Satrio ada di sampingnnya. Namun bila ia tak ada, semua topeng dan sandiwara selesai.
Tidak ada lagi jamaah sholat yang mau satu shaf dengannya. Tidak ada lagi orang yang mau membalas sapaannya. Dan tidak ada lagi orang yang membiarkan anaknya berada di dekat Safir, termasuk mertuanya sendiri.
Satrio menghela nafas panjang. Ia memijit kening yang sebenarnya tak pening. Kenapa mereka begitu angkuh? Ia masih teringat saat untuk pertama kalinya ia melihat pengucilan yang benar-benar menyesakkan hati. Dan itu terjadi pada Safir, istrinya sendiri. Bahkan ibu tidak percaya pada jilbab yang dikenakan Safir. Ia hanya menganggap jilbab hanyalah sebuah kedok semata.
Mengapa pemikiran mereka begitu sempit? Mengapa pandangan mereka hanya terukur pada status sosial dan pakaian yang dikenakan.
Matanya tertuju pada bayanga tubuh Safir. Diingat-ingatnya kembali sholat jamaah antara ia dan Safir, pengabdiannya sebagai seorang istri. Wanita yang ternyata tidak hanya berperan sebagai pendamping hidup, tapi juga guru dan sahabat. Dan itu semmua diberikannya tampa meminta atau diminta.
Tanpa disadari air mata menetes dari lelaki kokoh itu. Dipandanginya lampu yang mulai padam. Safir sudah tidur, perlahan Satrio mendekati rumahnya. Berharap dapat memandang wajah Safir atau paling tidak menghirup aroma rumah yang ia rindukan. Dan untuk sekian kalinnya ia menginggalkan rumah itu. Dan akan kembali memandangi bayangan istrinya saat malam datang.
***
Malam in genap satu hari sebelum perjanjian mereka usai. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Satrio meluapkan rasa rindu walaupun terlambat setengah jam dari biasanya. Rumahnya masih terlihat lengnag dan gelap.
“Safir belum pulang? Tidak seperti biasanya”
Sayup-sayup terdengar suara gaduh dari seberang gang, hal biasa di lingkungan rumahnya. Lima belas menit berlalu, namun Safir belum juga muncul. Ia yakin istrinya belum pulang.
“Ataukah?” Satrio menggelengkan kepala. Ia memukul kepalanya sendiri.
“Bisa-bisanya aku mencurigai istriku sendiri! Tidak! Safir bukan wanita seperti itu! Ia akan menjaga kehormatan walaupun tidak ada aku.”
Malam yang semakin larut memaksa Satrio menghubungi istrinya. Ditimangnya handphone yang ada di genggaman. Tertulis nama “istriku” disana, namun tangan Satrio tidak juga memencet tombol “call”. Suara gaduh semakin mengganggu, sepertinya bukan kegaduhan seperti biasanya. Keeingintahuan seakan memaksanya mendekati kegaduhan itu.
“Astagfirullah!!!” Satrio berlari menuju kerumunan massa yang seperti sedang menghakimi seseorang. Ia tidak berani ikut campur, tapi penasaran terlalu besar untuk dibendung.
Seorang wanita jatuh terjerembab di tanah. Terkulai lemah menerima cacian, ludahan dan terkadang tendangan beringas warga. Air mata jatuh seketika di wajah Satrio.
“Berhenti!! Berhenti!!” Satrio berteriak diantara amukan massa. Tarikan paksa dan teriakannya sama sekali tidak menghentikan amukan orang-orang.
“Berhenti!! Berhenti kataku!!!” Kali inipun tidak ada reaksi. Tidak ada gunanya! Pekiknya dalam hati, mereka bukan lagi manusia, tapi setan yang berwujud manusia. Safir disana, meringkuk kesakitan.
Pukulan yang membabi buta tidak lagi dirasakan Safir yang hampir pingsan. Apakah mereka sudah puas memukuliku? Atau memang aku yang sudah mati? Namun ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ia mengenali harum tubuh yang saat ini sedang mendekapnya, melindungi tubuhnya. Genggaman tangan ini…
“Satrio…” ucapnya lirih. Seketika itu ia menangis, namun hal itulah yang memicu kemarahan Satrio.
“Berhenti!” bisiknya dalam hati, namun toh hati nurani tak bisa mendengarkan jeritan hati nurani lainnya.
“Berhenti memukuli istriku!” Jeritnya lagi.
“BERHENTI!!” teriaknya lantang. Satrio benar benar geram, nafasnya tersengal-sengal di sela teriakan massa yang mendadak hilang. 
“Kenapa??!! Kenapa kalian memukulinya?!’
“Kenapa katamu!? Ia pelacur! Ia berhak mendapatkan ini!”
“Ia tidak pantas hidup di lingkungan kami!” Seorang laki laki maju menodngkan kayu pada Safir. Geraham Satrio bergemeretak.
“Hanya itu?”
“Hanya itu katamu! Kau ini sebenarnya pernah sekolah atau tidak?!”
“Ya benar! Karena adanya dia, lingkungan kami disebut sebagai desa prostitusi!”
“Tapi kini ia bukan pelacur lagi!” Teriak Satrio semakin tidak mengerti.
“Akh! Tidak ada bedanya! Dulu, sekarang atau besok! Pelacur ya tetap pelacur!” Provokasi seorang wanita yang diikuti sorak sorai seluruh warga.
“Tidak bisakah kalian memberi dia kesempatan!? Ia sudah bertobat! Ia tidak lagi seperti dulu! Beri dia sedikit…Sedikit saja celah…” lirih suaranya, meminta pengertian mereka.
“Kenapa kalian menuntut wanita ini untuk selalu bersih dan bersih… Apa kalian sudah menjadi Tuhan yang menghakimi sesorang sebagai najis dan dosa hingga tak terampunkan?” Tidak ada lagi sahutan, hanya angin malam yang menderu, menjadi irama kelu bagi Satrio.
“Sebenarnya apa urusanmu dengan wanita ini?!”
“Atau jangan-jangan kau orang yang selalu menidurinya setiap malam hah!?” Darah seakan-akan mencapai batasnya. Mata Satrio menggelap, tubuhnya menahan kemarahan. Tangannya menunjuk tubuh Safir yang tidak bisa apa-apa.
“Kalian mau tahu siapa wanita ini hah!? Kalian masih peduli siapa dia?!” Teriaknya tidak terkendali. Entah apa yang terjadi, tapi warga beringsut mundur melihat Satrio yang mengamuk.
“Bekas pelacur ini? Bekas pelacur ini adalah ISTRIKU!!”
Berbisik, semuanya. Menggelengkan kepala, semua. Mata tajam Satrio tidak berhenti menghujam mereka. Kepongahan dan keangkuhan mereka sebelumnya berganti dengan ketidakmengertian. Satu persatu mulai pergi dengan rasa malu, penasaran dan risih yang menggelayuti pikiran mereka. Tempat itu kini lengang, tinggal Satrio dan Safir. Dinginnya malam tak lagi dirasa.
“Mas…” Suara serak itu tertahan oleh senyuman hangat Satrio. Seluruh sakit yang menyiksa dapat ditahan tubuh Satrio yang memeluk tubuhnya. Safir tidak lagi bisa menahan isaknya, begitu pula Satrio.
“Sudah kukatakan, aku akan selalu di sampingmu. Apapun yang terjadi…” Bisik Satrio mengecup kening istrinya.
“Dan aku tidak akan meninggalkanmu seperti ini lagi. Apapun yang terjadi, walau kau mengamuk! Walau aku harus menerima kemarahanmu!” Entah apa yang lucu, tapi saat ini mereka berdua tertawa. Ya mereka hanya tertawa tanpa harus tahu apa yang sedang ditertawakan.
Kesepakatan itu tidak lagi berlaku walau belum genap hari. Tapi tidak seperti malam-malam yang sebelumnya, Safir dan Satrio membiarkan pelanggaran itu terjadi. Dengan tawa.

No comments:

Post a Comment