Aku dan Mereka Hidup
“Siapa
dia?”
“Mana?”
Jemari lentiknya menunjuk sesuatu yang bergerak merayap di tebing.
“Kurang
kerjaan.” Mata cantiknya tetap memperhatikan sang kurang kerjaan tak
menghiraukan jawaban.
“Jangan
katakan kau ingin melakukan hal yang sama. Kau tentu tahu jawabannya.” Lelaki
kewanita-wanitaan itu meninggalkannya sendiri. Tidak perlu jawaban, karena
mereka tahu siapa bos nya.
Ia
tetap tidak melepaskan pandangannya dari sang kurang kerjaan dan menggumamkan
sesuatu yang tidak akan mampu didengarkan siapapun.
# # #
“Kau
tetap memandanginya walau hari telah berganti?”
“Apakah
kau masih harus mengatur kemana aku memandang?” Lelaki kewanita-wanitaan itu
mengangkat pundaknya acuh.
“Kau
tahu siapa dirimu dan apa yang harus kau lakukan.” Wanita itu meneruskan
pandangannya pada sang kurang kerjaan
di tebing, tak lupa dengan gumaman.
“Kau
selalu bergugam. Aku tak yakin apakah angin juga dapat mendengar gumamanmu.”
Akhirnya wanita itu menarik nafas kesal, meninggalkan lelaki kewanita-wanitaan
yang berkacak pinggang di belakangnya
“Pengganggu”
“Kali
ini aku bisa mendengar gumamanmu, hai sang pemilik suara!!” Lelaki
kewanita-wanitaan berlagak memarahi, namun senyum tipis tersungging di bibirnya.
# # #
Deru
nafas terdengar kencang. Jari jarinya kuat memegang sebongkah demi sebongkah
batu sebagai pegangannya. Kaki kakinya menapak kuat agar ia bisa bergerak
perlahan namun mantap. Secuil batu tergelincir jatuh akibat pijakan kakinya.
“Aduhhh!!!”
Sebuah
suara terdengar merintih di bawah sana
“Apa
yang kau lakukan di bawah sana?’ Seorang wanita diam sambil memegangi keningnya.
“Apa
kau baik-baik saja? Kau tahu akan berbahaya jika kau berdiri di bawah sana?!”
Wanita itu kini memandanginya yang belum jauh memanjat.
“Apa
kau bisu?!” Lelaki itu berteriak tanpa ada jawaban kembali. Lelaki itu
menggumam dan melanjutkan panjatannya.
# # #
“Ada
apa dengan keningmu?” Lelaki kewanita-wanitaan itu memeriksa keningnya yang
agak benjol dan lecet.
“Aku
bisa mengobatinya sendiri.” Mereka beradu pandang. Entah saling bertanya atau
saling mengejek dalam hati.
“Sejak
disini, kau mulai berubah.”
“Tapi
aku tak berubah saat menjalankan pekerjaanku disini bukan?” Jemari lentiknya
memberi cairan orange di kening
“Ya
memang ..”
“Lalu
dimana letak masalahnya?” Mata tajamnya memandang tajam wajah gusar lawan
bicaranya melalui cermin
“Berarti
tidak ada masalah.” Sekali lagi ia meninggalkannya dengan gugaman hampir tak
terdengar
“Yah,
paling tidak sekarang gumamanmu tak selirih dulu.” Lelaki itu memangut sosok
yang meninggalkannya melalui cermin
# # #
“Bolehkah
aku ikut denganmu?” Sang kurang kerjaan itu menengok ke sumber suara. Ia
mendengus saat tahu siapa yang berbicara.
“Bolehkah?”
Suara itu melanjutkan saat tak ada jawaban mengiyakan. Sang kurang kerjaan
tetap mempersiapkan peralatannya tanpa menghiraukan sang pemilik suara.
“Kumohon
. . .”
“Tebing
ini bukan milikku, nona.” Akhirnya ia menghadap langsung pada pemilik suara.
Parasnya cantik pikirnya. Sangat terawat. Perhiasan mewah semakin menyilaukan
kecantikannya. Wajahnya terlihat sangat memohon. Sang kurang kerjaan memandangi
peralatan lengkap yang dibawa pemilik suara.
“Sepertinya
kau sudah siap.” Sang pemilik suara mengangguk. Paras cantik semakin menjadi saat
senyum mengembang di wajahnya.
“Kau
tentu akan kesulitan jika memanjat dengan memakai perhiasan seperti itu.” Sang
pemilik suara memandangi setiap perhiasan yang bertengger di telinga, leher,
pergelangan tangan, jemarinya.
“Tapi
…”
“Kau
khawatir tidak akan dikenali sebagai artis jika tidak memakai perhiasan itu?”
Sang pemilik suara segera melepas semua perhiasannya dan mulai melakukan
pemanasan.
“Lagi
pula, aku baru pertama kali melihat pohon seperti kita memakai perhiasan.” Sang
kurang kerjaan tak menghiraukan wajah sang pemilik suara yang termangu
mendengar semua kalimatnya. Ia menggugam.
“Apa
yang kau katakan?” Sang pemilik suara segera menancapkan paku tebingnya dan
mulai memanjat
“Kau
adalah pohon yang pelit berbicara.”
“Dan
kau adalah pohon yang terlalu banyak bicara” Sang kurang kerjaan terperanjat
akan kalimatnya. Ia segera menyusul sang pemilik suara yang sudah ada satu
langkah di depannya
# # #
“Jangan
lupa besok pagi kita ada jadwal.” Wanita cantik itu terperanjat seakan lupa
akan jadwalnya.
“Ada
apa? Apa kau lupa? Ingat aku tak akan membatalkan jadwal yang sudah tersusun
rapi karena lupamu itu.”
“Aku
tak mengucapkan apapun.”
“Yah
memang kau tak mengucapkan apapun seperti kau tak pernah mengatakan kemana kau
pergi. Kenapa kau tidak memakai perhiasanmu lagi. Atau kenapa dengan tiba tiba
tanganmu penuh denga luka. K-a-u
t-a-k p-e-r-n-a-h m-e-n-g-a-t-a-k-a-n-n-y-a.” Serentetan
kalimat seakan peluru yang memberondong sang wanita. Ia kelimpungan mencari jawaban.
“Kenapa?
Kau kaget? Sebentar lagi aku akan tahu apa yang kau lakukan di belakangku.”
“Bukankah
seorang model harus cukup istirahat sebelum melakukan pemotretan?” Wanita itu
menarik selimut. Bukan untuk menyelimuti dinginnya udara malam, tapi untuk menyelimuti
hatinya yang resah.
Lelaki
kewanita-wanitaan itu meninggalkannya sendiri. Ia masih terdiam tak beranjak
saat menutup pintu kamarnya. Pikirannya berkecamuk dengan ketelitian.
# # #
“Bukankah
kita harus berangkat lebih pagi untuk mengejar matahari?” Lelaki
kewanita-wanitaa masih nyaman di bawah selimutnya yag tebal. Sebuah gerakan
lambat terlihat dari permukaan selimut. Lelaki kewanita-wanitaan hanya
menggerakkan sedikit tubuhnya.
“Ayo
bangun! Ayo!”
“Ahh!!
Kau mengganggu!!” Lelaki kewanita-wanitaan menarik kembali selimut yang hampir
terampas darinya.
“Ayolah!
Aku tidak akan membatalkan jadwal yang sudah tersusun rapi hanya karena
kemalasanmu ini!”
“Aku
lupa memberitahumu. Mereka mengatakan hari ini mendung. Dan kita tidak akan dapat
mengejar matahari terbit.” Suaranya terdengar malas-malasan, tapi terdengar
seperti sebuah berita hadiah yang sangat besar bagi wanita itu.
“Benarkah?!
Benarkah!??”
“Ah!
Kenapa kau mengganggu tidurku!!” Wanita dan lelaki kewanita-wanitaan saling
berebut selimut.
“Katakan
dulu benar atau tidak?” Jemarinya berhasil menyingkap selimut yang menutupinya.
“Ya
Ya Ya!!! Kau Puas!!”
“Ya
ya ya! Aku puasssss!!!!” Wanita itu berlari kegirangan selayaknya anak kecil
yang mendapat mainan.
# # #
“Kau
terlambat.” Ia terengah-engah, nafasnya seperti berebutan mendapatkan partikel
partikel udara yang sangat banyak.
“Mari
berlomba!” Sang pemilik suara akhirnya mengeluarkan suaranya
“Ha?”
“Jika
aku menang, kau harus ikut denganku ke kota.” Sang kurang kerjaan memandangnya
kaget.
“Apa
kau bercanda?” Sang kurang kerjaan berkacak pinggang
“Oke!
Deal!!”
“HEYY!!
Tapi aku belum menjawabnya!!” Tapi sang pemilik suara tak menghiraukannya dan
tetap memanjat
“Keras
kepala!!” Sang kurang kerjaan berteriak, berharap sang pemilik suara akan
berhenti. Namun sang pemilik suara tak bergeming, diikuti gerutuan dan gumaman
panjang sang kurang kerjaan.
Sepasang
mata memandangi mereka berdua. Setapak demi setapak keduanya mendekati tebing
yang tak begitu curam. Wajahnya menunjukkan keheranannya melihat pertunjukkan
mereka. Ia tak bergumam, ia juga tak menggerutu. Namun, pikirannya berkecamuk
cepat, dengan penuh ketelitian.
# # #
Nafas
begitu cepat terhembus dari keduanya. Mereka berdua terlentang kelelahan, namun
dengan senyuman. Keringat menetes di tanah terhampar luas di sekeliling mereka.
Hanya mereka berdua, pemilik surgawi indah itu. Hanya mereka berdua, pemilik
kepuasan itu.
“Tak
kukira artis sepertimu bisa bergerak secepat itu. Kukira jari-jarimu yang
lentik tak akan mampu mengalahkanku.” Sang kurang kerjaan menatapnya yang masih
terpejam dengan senyum kemenangan
“Apakah
aku belum memberitahumu?” Bibir tipisnya menggugam
“Apa?”
“Aku
mantan pemanjat tebing.” Sang kurang kerjaan tertegun mendengar pengakuan itu.
Setelah sekian hari? Ia merasa terjebak permainan sang pemilik suara. Namun,
pertanyaan lain lebih mengganggunya.
“Lalu
kenapa kau sangat ingin aku ke kota bersamamu?” Sang pemilik suara terbangun
dan tetap tersenyum.
“Karena
aku ingin kau tahu sesuatu yang lain.”
“Apalagi
yang kau gumamkan. Kenapa kau sering sekali menggugam?” Namun sang pemilik
suara sudah berlari meninggalkannya. Di kejauhan ia berhenti dan berbalik.
Dengan suara keras sang pemilik suara berteriak bahagia.
“Aku
tunggu besok saat matahari terbit!” Sang kurang kerjaan hanya melambaikan
tangan. Tak terasa senyum mengembang di wajahnya. Entah mengapa. Tapi ia ingin
tahu “sesuatu” apa yang ingin disampaikan sang pemilik suara
# # #
“Aku
ingin dia ikut ke kota?” Lelaki kewanita-wanitaan itu memandanginya dengan
lekat. Wajahnya seakan bertanya-tanya.
“Untuk
menjadi model sepertiku disana.”
“Ha?”
Lelaki kewanita-wanitaan itu merespon tak mengerti
“Pasti
kau bertanya tanya untuk apa aku mengajaknya ke kota.” Sang pemilik suara
menjelaskan
“Sok
tahu ... Aku hanya berfikir apakah orang ini lah yang bisa merubah dinginmu,
ketidakpedulianmu. Merubahmu dari wanita terhormat menjadi wanita pemanjat tebing seperti dulu.”
Sang wanita terhenyak
“Kau
tahu …” Bibir sang pemilik suara bergetar, disambut senyum kemenangan sang
lelaki kewanita-wanitaan. Sang pemilik suara merasa terpojok.
“Dia
tahu. Bagaimana ini. Bagaimana jika aku tak dapat merasakan kebebasanku
kembali. Bagaimana jika manusia kembali memasangkan kembali perhiasan perhiasan
yang sangat menyiksa itu? Bagaimana bagaimana?” Pikiran sang pemilik suara
terus berkecamuk. Sungguh kebebasan yang sangat berharga baginya
“Apa
kau merasa menang dengan ketahuanmu?” Suara sang kurang kerjaan memecah
keheningan mereka
“Apa
ukuran terhormat menurutmu adalah bertangan halus, memakai perhiasan, dan
berkosmetik tebal?” Sang kurang kerjaan menatap tajam lelaki kewanita-wanitaan
“Tahu
apa kau tentang dia?!”
“Aku
tidak tahu apa apa. Tapi seharusnya sepupu yang berperan sebagai manager lebih
tahu dari pada aku yang hanya seorang teman pemanjatnya” Mereka bersitegang.
Tangan sang lelaki kewanita-wanitan mengepal keras
“Apa
maksudmu? Lalu apa yang kau tahu tentang saudaraku ha?!” Tubuhnya maju
selangkah, seolah ingin menantang sang kurang kerjaan yang tubuhnya lebih besar
darinya. Sang kurang kerjaan diam menahan amarah. Mungkin jika dilukiskan, jiwa
mereka sudah bertarung hebat. Saling mencaci, memukul dan meludahi satu sama
lain.
“Aku
sakit …” Sebuah suara muncul
Sang
lelaki kewanita-wanitaan menengok ke arah suara. Sang pemilik suara menunduk
lesu.
“Kupikir,
ini akan seperti yang mereka pakai. Terlihat cantik. Hanya itu. Tapi ternyata
ia memberiku hal lain. Penyakit karena cahayanya.” Suaranya lesu dan serak.
Sang lelaki kewanita-wanitaan tertegun.
“Para
manusia menghias kita, para pohon. Dengan ini . . .” Sang pemilik suara
mengangkat perhiasannya, memandangnya lama
“Manusia
menyebut ini sebagai lampu. Sebuah lampu yang sinarnya membuatku teradiasi. Dan
sangat sakit …”
“Apa
yang kau katakan?! Kau baik baik saja saudaraku?!” Sang lelaki
kewanita-wanitaan itu tak percaya. Ia mengguncang kencang tubuh sang pemilik
suara.
“Kau
sangat sehat! Lihat! Tubuhmu terllihat sangat segar dan sehat! Apa yang kau
bicarakan?!” Sang pemilik suara menepis tangan lelaki kewanita-wanitaan. Ia
mundur dan tiba tiba membuka dedaunan yang menutupi sebagian wajahnya. Kerutan kerutan
besar terlihat di sebagian wajah yang tertutup daun. Ada beberapa bagian
kulitnya yang terkelupas karena kerutan tersebut. Kerutan itu sudah menutupi
hampir sebagian kulit kepalanya.
Tangan
lelaki kewanita-wanitaan bergetar berusaha menyentuh kulit yang mengerikan itu.
“Se
.. jak ka .. pan?” Tangannya semakin bergetar
“Mengapa
… mengapa tak kau katakan padaku?” Air mata mengalir di wajahnya yang semakin
menyesal akan ketidaktahuannya
“Maafkan
aku, maafkan aku saudaraku …” Tubuhnya bergetar hebat seiring suara tangisnya
yang pecah
“Maafkan
aku … tak bisa menjagamu …” Sang pemilik suara tersenyum memeluk lelaki
kewanita wanitaan
# # #
“Apa
yang mereka lakukan padaku?” Sang kurang kerjaan bingung saat manusia memotong
semua daun di tubuhnya. Hanya batang yang tersisa dan akar yang tersisa di
tubuhnya
“Bawel!”
“Hei,
kenapa kau meninggalkanku. Sekarang gugamanmu begitu bisa kudengar! Kenapa kau
katakan aku bawel!?” Sang pemilik suara meninggalkannya sendiri di truk bersama
pohon pohon yang lain sedangkan ia duduk secara eksklusif di bagian depan
bersama lelaki kewanita-wanitaa. Mereka semua gundul, tanpa daun yang menutupi
wajah mereka. Seakan telanjang dan dijadikan dalam satu penampungan.
“Apa
yang terjadi pada kita?” Sang kurang ajar bertanya kepada teman sampingnya
“Memang
beginilah cara manusia membawa kita, para pohon ke kota.”
“Apa
maksudmu?” Sang kurang kerjaan tetap tak mengerti maksud si teman
“Kau
akan tahu disana” Si teman mengakhiri kalimatnya, saat tak terasa seluruh ruang
dalam truk terisi penuh oleh mereka yang tanpa apapun. Rasa malu sudah berbaur
menjadi satu dengan kepengapan udara.
# # #
“Jadi
ini maksudmu tentang kota?” Matanya menerawang tanah lapang yang diisi dengan
bangunan tinggi yang masih setengah jadi. Para manusia hilir mudik membangun
sebuah bangunan yang entah untuk apa. Udara terasa sesak dan tak segar untuknya
yang datang dari pedesaan.
“Beginilah
kota. Sama sepertimu saat ini. Semua daun kami dipotong supaya mereka dapat
mengangkut banyak. Dan kemudian akan memperlakukan seperti apa yang kau alami
saat ini.” Sang pemilik suara memandang tubuh sang kurang kerjaan yang ditopang
beberapa kayu di sekitarnya agar tetap tegak dan tumbuh.
“Lalu
apa yang akan mereka lakukan setelah ini?”
“Tebak!”
Sang pemilik suara tersenyum dan mengerling nakal
“Kami
akan dihiasi lampu sepertimu?” Sang pemilik suara bangkit dari duduknya. Ia
berlari menjauh, berputar putar seakan mendapatkan kebebasan.
“Aku
tak akan membuat kalian mengalami seperti yang kurasakan. Aku tak akan
membiarkan mereka meletakkan lampu lampu itu di tubuh kalian. Aku tak akan
membiarkan mereka melakukan itu pada kalian!!!” Ia berteriak kencang, membuat
para pohon terbangun dari keputusasaan mereka.
“Lalu
apa yang akan kau lakukan?!” Seorang teman dari ujung berteriak kencang mengalahkan
suara angin yang menderu kencang di tanah lapang
“Aku
memiliki kalian, saudara saudaraku! Dan kita akan bangkit bersama! Kita akan
melakukan sebuah rencana yang menyadarkan manusia bahwa kita bukanlah barang
mati, kita bukan hiasan! Kita hidup!!” Nafasnya terengah-engah mengucapkan kata
demi kata yang sangat ingin ucapkan sejak dulu.
“Manusia
harus tahu bahwa kita bukan hiasan kota” Kali ini ia hanya menggugam. Namun,
angin membawa gugamannya ke setiap pohon yang terpasung kayu.
“Kita
hidup, dan manusia harus tahu itu.”