Pages

Sunday, January 26, 2014

Lakukan!

Ludahi aku bila aku tak pantas untukmu

Bunuh jiwaku saat aku hanyalah sampah dalam hidupmu

Hinakan aku jika aku hanya parasit di detik kehidupanmu

LUDAHI!
BUNUH!!
dan HINAKAN!!!
Lakukan! Apapun yang membuatmu senang!!!!

Saat raga dan jiwa ini lenyap . . .
Mungkin saat itulah, kau akan menganggapku ada

by phi



Monday, January 20, 2014



Aku dan Mereka Hidup


“Siapa dia?”
“Mana?” Jemari lentiknya menunjuk sesuatu yang bergerak merayap di tebing.
“Kurang kerjaan.” Mata cantiknya tetap memperhatikan sang kurang kerjaan tak menghiraukan jawaban.
“Jangan katakan kau ingin melakukan hal yang sama. Kau tentu tahu jawabannya.” Lelaki kewanita-wanitaan itu meninggalkannya sendiri. Tidak perlu jawaban, karena mereka tahu siapa bos nya.
Ia tetap tidak melepaskan pandangannya dari sang kurang kerjaan dan menggumamkan sesuatu yang tidak akan mampu didengarkan siapapun.

# # #

“Kau tetap memandanginya walau hari telah berganti?”
“Apakah kau masih harus mengatur kemana aku memandang?” Lelaki kewanita-wanitaan itu mengangkat pundaknya acuh.
“Kau tahu siapa dirimu dan apa yang harus kau lakukan.” Wanita itu meneruskan pandangannya pada sang kurang kerjaan di tebing, tak lupa dengan gumaman.
“Kau selalu bergugam. Aku tak yakin apakah angin juga dapat mendengar gumamanmu.” Akhirnya wanita itu menarik nafas kesal, meninggalkan lelaki kewanita-wanitaan yang berkacak pinggang di belakangnya
“Pengganggu”
“Kali ini aku bisa mendengar gumamanmu, hai sang pemilik suara!!” Lelaki kewanita-wanitaan berlagak memarahi, namun senyum tipis tersungging di bibirnya.

# # #

Deru nafas terdengar kencang. Jari jarinya kuat memegang sebongkah demi sebongkah batu sebagai pegangannya. Kaki kakinya menapak kuat agar ia bisa bergerak perlahan namun mantap. Secuil batu tergelincir jatuh akibat pijakan kakinya.
“Aduhhh!!!”
Sebuah suara terdengar merintih di bawah sana
“Apa yang kau lakukan di bawah sana?’ Seorang wanita diam sambil memegangi keningnya.
“Apa kau baik-baik saja? Kau tahu akan berbahaya jika kau berdiri di bawah sana?!” Wanita itu kini memandanginya yang belum jauh memanjat.
“Apa kau bisu?!” Lelaki itu berteriak tanpa ada jawaban kembali. Lelaki itu menggumam dan melanjutkan panjatannya.

# # #

“Ada apa dengan keningmu?” Lelaki kewanita-wanitaan itu memeriksa keningnya yang agak benjol dan lecet.
“Aku bisa mengobatinya sendiri.” Mereka beradu pandang. Entah saling bertanya atau saling mengejek dalam hati.
“Sejak disini, kau mulai berubah.”
“Tapi aku tak berubah saat menjalankan pekerjaanku disini bukan?” Jemari lentiknya memberi cairan orange di kening
“Ya memang ..”
“Lalu dimana letak masalahnya?” Mata tajamnya memandang tajam wajah gusar lawan bicaranya melalui cermin
“Berarti tidak ada masalah.” Sekali lagi ia meninggalkannya dengan gugaman hampir tak terdengar
“Yah, paling tidak sekarang gumamanmu tak selirih dulu.” Lelaki itu memangut sosok yang meninggalkannya melalui cermin

# # #

“Bolehkah aku ikut denganmu?” Sang kurang kerjaan itu menengok ke sumber suara. Ia mendengus saat tahu siapa yang berbicara.
“Bolehkah?” Suara itu melanjutkan saat tak ada jawaban mengiyakan. Sang kurang kerjaan tetap mempersiapkan peralatannya tanpa menghiraukan sang pemilik suara.
“Kumohon . . .”
“Tebing ini bukan milikku, nona.” Akhirnya ia menghadap langsung pada pemilik suara. Parasnya cantik pikirnya. Sangat terawat. Perhiasan mewah semakin menyilaukan kecantikannya. Wajahnya terlihat sangat memohon. Sang kurang kerjaan memandangi peralatan lengkap yang dibawa pemilik suara.
“Sepertinya kau sudah siap.” Sang pemilik suara mengangguk. Paras cantik semakin menjadi saat senyum mengembang di wajahnya.
“Kau tentu akan kesulitan jika memanjat dengan memakai perhiasan seperti itu.” Sang pemilik suara memandangi setiap perhiasan yang bertengger di telinga, leher, pergelangan tangan, jemarinya.
“Tapi …”
“Kau khawatir tidak akan dikenali sebagai artis jika tidak memakai perhiasan itu?” Sang pemilik suara segera melepas semua perhiasannya dan mulai melakukan pemanasan.
“Lagi pula, aku baru pertama kali melihat pohon seperti kita memakai perhiasan.” Sang kurang kerjaan tak menghiraukan wajah sang pemilik suara yang termangu mendengar semua kalimatnya. Ia menggugam.
“Apa yang kau katakan?” Sang pemilik suara segera menancapkan paku tebingnya dan mulai memanjat
“Kau adalah pohon yang pelit berbicara.”
“Dan kau adalah pohon yang terlalu banyak bicara” Sang kurang kerjaan terperanjat akan kalimatnya. Ia segera menyusul sang pemilik suara yang sudah ada satu langkah di depannya

# # #

“Jangan lupa besok pagi kita ada jadwal.” Wanita cantik itu terperanjat seakan lupa akan jadwalnya.
“Ada apa? Apa kau lupa? Ingat aku tak akan membatalkan jadwal yang sudah tersusun rapi karena lupamu itu.”
“Aku tak mengucapkan apapun.”
“Yah memang kau tak mengucapkan apapun seperti kau tak pernah mengatakan kemana kau pergi. Kenapa kau tidak memakai perhiasanmu lagi. Atau kenapa dengan tiba tiba tanganmu penuh denga luka. K-a-u  t-a-k  p-e-r-n-a-h  m-e-n-g-a-t-a-k-a-n-n-y-a.” Serentetan kalimat seakan peluru yang memberondong sang wanita. Ia kelimpungan mencari jawaban.
“Kenapa? Kau kaget? Sebentar lagi aku akan tahu apa yang kau lakukan di belakangku.”
“Bukankah seorang model harus cukup istirahat sebelum melakukan pemotretan?” Wanita itu menarik selimut. Bukan untuk menyelimuti dinginnya udara malam, tapi untuk menyelimuti hatinya yang resah.
Lelaki kewanita-wanitaan itu meninggalkannya sendiri. Ia masih terdiam tak beranjak saat menutup pintu kamarnya. Pikirannya berkecamuk dengan ketelitian.

# # #

“Bukankah kita harus berangkat lebih pagi untuk mengejar matahari?” Lelaki kewanita-wanitaa masih nyaman di bawah selimutnya yag tebal. Sebuah gerakan lambat terlihat dari permukaan selimut. Lelaki kewanita-wanitaan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya.
“Ayo bangun! Ayo!”
“Ahh!! Kau mengganggu!!” Lelaki kewanita-wanitaan menarik kembali selimut yang hampir terampas darinya.
“Ayolah! Aku tidak akan membatalkan jadwal yang sudah tersusun rapi hanya karena kemalasanmu ini!”
“Aku lupa memberitahumu. Mereka mengatakan hari ini mendung. Dan kita tidak akan dapat mengejar matahari terbit.” Suaranya terdengar malas-malasan, tapi terdengar seperti sebuah berita hadiah yang sangat besar bagi wanita itu.
“Benarkah?! Benarkah!??”
“Ah! Kenapa kau mengganggu tidurku!!” Wanita dan lelaki kewanita-wanitaan saling berebut selimut.
“Katakan dulu benar atau tidak?” Jemarinya berhasil menyingkap selimut yang menutupinya.
“Ya Ya Ya!!! Kau Puas!!”
“Ya ya ya! Aku puasssss!!!!” Wanita itu berlari kegirangan selayaknya anak kecil yang mendapat mainan.

# # #

“Kau terlambat.” Ia terengah-engah, nafasnya seperti berebutan mendapatkan partikel partikel udara yang sangat banyak.
“Mari berlomba!” Sang pemilik suara akhirnya mengeluarkan suaranya
“Ha?”
“Jika aku menang, kau harus ikut denganku ke kota.” Sang kurang kerjaan memandangnya kaget.
“Apa kau bercanda?” Sang kurang kerjaan berkacak pinggang
“Oke! Deal!!”
“HEYY!! Tapi aku belum menjawabnya!!” Tapi sang pemilik suara tak menghiraukannya dan tetap memanjat
“Keras kepala!!” Sang kurang kerjaan berteriak, berharap sang pemilik suara akan berhenti. Namun sang pemilik suara tak bergeming, diikuti gerutuan dan gumaman panjang sang kurang kerjaan.
Sepasang mata memandangi mereka berdua. Setapak demi setapak keduanya mendekati tebing yang tak begitu curam. Wajahnya menunjukkan keheranannya melihat pertunjukkan mereka. Ia tak bergumam, ia juga tak menggerutu. Namun, pikirannya berkecamuk cepat, dengan penuh ketelitian.

# # #

Nafas begitu cepat terhembus dari keduanya. Mereka berdua terlentang kelelahan, namun dengan senyuman. Keringat menetes di tanah terhampar luas di sekeliling mereka. Hanya mereka berdua, pemilik surgawi indah itu. Hanya mereka berdua, pemilik kepuasan itu.
“Tak kukira artis sepertimu bisa bergerak secepat itu. Kukira jari-jarimu yang lentik tak akan mampu mengalahkanku.” Sang kurang kerjaan menatapnya yang masih terpejam dengan senyum kemenangan
“Apakah aku belum memberitahumu?” Bibir tipisnya menggugam
“Apa?”
“Aku mantan pemanjat tebing.” Sang kurang kerjaan tertegun mendengar pengakuan itu. Setelah sekian hari? Ia merasa terjebak permainan sang pemilik suara. Namun, pertanyaan lain lebih mengganggunya.
“Lalu kenapa kau sangat ingin aku ke kota bersamamu?” Sang pemilik suara terbangun dan tetap tersenyum.
“Karena aku ingin kau tahu sesuatu yang lain.”
“Apalagi yang kau gumamkan. Kenapa kau sering sekali menggugam?” Namun sang pemilik suara sudah berlari meninggalkannya. Di kejauhan ia berhenti dan berbalik. Dengan suara keras sang pemilik suara berteriak bahagia.
“Aku tunggu besok saat matahari terbit!” Sang kurang kerjaan hanya melambaikan tangan. Tak terasa senyum mengembang di wajahnya. Entah mengapa. Tapi ia ingin tahu “sesuatu” apa yang ingin disampaikan sang pemilik suara

# # #

“Aku ingin dia ikut ke kota?” Lelaki kewanita-wanitaan itu memandanginya dengan lekat. Wajahnya seakan bertanya-tanya.
“Untuk menjadi model sepertiku disana.”
“Ha?” Lelaki kewanita-wanitaan itu merespon tak mengerti
“Pasti kau bertanya tanya untuk apa aku mengajaknya ke kota.” Sang pemilik suara menjelaskan
“Sok tahu ... Aku hanya berfikir apakah orang ini lah yang bisa merubah dinginmu, ketidakpedulianmu. Merubahmu dari wanita terhormat  menjadi wanita pemanjat tebing seperti dulu.” Sang wanita terhenyak
“Kau tahu …” Bibir sang pemilik suara bergetar, disambut senyum kemenangan sang lelaki kewanita-wanitaan. Sang pemilik suara merasa terpojok.
“Dia tahu. Bagaimana ini. Bagaimana jika aku tak dapat merasakan kebebasanku kembali. Bagaimana jika manusia kembali memasangkan kembali perhiasan perhiasan yang sangat menyiksa itu? Bagaimana bagaimana?” Pikiran sang pemilik suara terus berkecamuk. Sungguh kebebasan yang sangat berharga baginya
“Apa kau merasa menang dengan ketahuanmu?” Suara sang kurang kerjaan memecah keheningan mereka
“Apa ukuran terhormat menurutmu adalah bertangan halus, memakai perhiasan, dan berkosmetik tebal?” Sang kurang kerjaan menatap tajam lelaki kewanita-wanitaan
“Tahu apa kau tentang dia?!”
“Aku tidak tahu apa apa. Tapi seharusnya sepupu yang berperan sebagai manager lebih tahu dari pada aku yang hanya seorang teman pemanjatnya” Mereka bersitegang. Tangan sang lelaki kewanita-wanitan mengepal keras
“Apa maksudmu? Lalu apa yang kau tahu tentang saudaraku ha?!” Tubuhnya maju selangkah, seolah ingin menantang sang kurang kerjaan yang tubuhnya lebih besar darinya. Sang kurang kerjaan diam menahan amarah. Mungkin jika dilukiskan, jiwa mereka sudah bertarung hebat. Saling mencaci, memukul dan meludahi satu sama lain.
“Aku sakit …” Sebuah suara muncul
Sang lelaki kewanita-wanitaan menengok ke arah suara. Sang pemilik suara menunduk lesu.
“Kupikir, ini akan seperti yang mereka pakai. Terlihat cantik. Hanya itu. Tapi ternyata ia memberiku hal lain. Penyakit karena cahayanya.” Suaranya lesu dan serak. Sang lelaki kewanita-wanitaan tertegun.
“Para manusia menghias kita, para pohon. Dengan ini . . .” Sang pemilik suara mengangkat perhiasannya, memandangnya lama
“Manusia menyebut ini sebagai lampu. Sebuah lampu yang sinarnya membuatku teradiasi. Dan sangat sakit …”
“Apa yang kau katakan?! Kau baik baik saja saudaraku?!” Sang lelaki kewanita-wanitaan itu tak percaya. Ia mengguncang kencang tubuh sang pemilik suara.
“Kau sangat sehat! Lihat! Tubuhmu terllihat sangat segar dan sehat! Apa yang kau bicarakan?!” Sang pemilik suara menepis tangan lelaki kewanita-wanitaan. Ia mundur dan tiba tiba membuka dedaunan yang menutupi sebagian wajahnya. Kerutan kerutan besar terlihat di sebagian wajah yang tertutup daun. Ada beberapa bagian kulitnya yang terkelupas karena kerutan tersebut. Kerutan itu sudah menutupi hampir sebagian kulit kepalanya.
Tangan lelaki kewanita-wanitaan bergetar berusaha menyentuh kulit yang mengerikan itu.
“Se .. jak ka .. pan?” Tangannya semakin bergetar
“Mengapa … mengapa tak kau katakan padaku?” Air mata mengalir di wajahnya yang semakin menyesal akan ketidaktahuannya
“Maafkan aku, maafkan aku saudaraku …” Tubuhnya bergetar hebat seiring suara tangisnya yang pecah
“Maafkan aku … tak bisa menjagamu …” Sang pemilik suara tersenyum memeluk lelaki kewanita wanitaan

# # #

“Apa yang mereka lakukan padaku?” Sang kurang kerjaan bingung saat manusia memotong semua daun di tubuhnya. Hanya batang yang tersisa dan akar yang tersisa di tubuhnya
“Bawel!”
“Hei, kenapa kau meninggalkanku. Sekarang gugamanmu begitu bisa kudengar! Kenapa kau katakan aku bawel!?” Sang pemilik suara meninggalkannya sendiri di truk bersama pohon pohon yang lain sedangkan ia duduk secara eksklusif di bagian depan bersama lelaki kewanita-wanitaa. Mereka semua gundul, tanpa daun yang menutupi wajah mereka. Seakan telanjang dan dijadikan dalam satu penampungan.
“Apa yang terjadi pada kita?” Sang kurang ajar bertanya kepada teman sampingnya
“Memang beginilah cara manusia membawa kita, para pohon ke kota.”
“Apa maksudmu?” Sang kurang kerjaan tetap tak mengerti maksud si teman
“Kau akan tahu disana” Si teman mengakhiri kalimatnya, saat tak terasa seluruh ruang dalam truk terisi penuh oleh mereka yang tanpa apapun. Rasa malu sudah berbaur menjadi satu dengan kepengapan udara.

# # #

“Jadi ini maksudmu tentang kota?” Matanya menerawang tanah lapang yang diisi dengan bangunan tinggi yang masih setengah jadi. Para manusia hilir mudik membangun sebuah bangunan yang entah untuk apa. Udara terasa sesak dan tak segar untuknya yang datang dari pedesaan.
“Beginilah kota. Sama sepertimu saat ini. Semua daun kami dipotong supaya mereka dapat mengangkut banyak. Dan kemudian akan memperlakukan seperti apa yang kau alami saat ini.” Sang pemilik suara memandang tubuh sang kurang kerjaan yang ditopang beberapa kayu di sekitarnya agar tetap tegak dan tumbuh.
“Lalu apa yang akan mereka lakukan setelah ini?”
“Tebak!” Sang pemilik suara tersenyum dan mengerling nakal
“Kami akan dihiasi lampu sepertimu?” Sang pemilik suara bangkit dari duduknya. Ia berlari menjauh, berputar putar seakan mendapatkan kebebasan.
“Aku tak akan membuat kalian mengalami seperti yang kurasakan. Aku tak akan membiarkan mereka meletakkan lampu lampu itu di tubuh kalian. Aku tak akan membiarkan mereka melakukan itu pada kalian!!!” Ia berteriak kencang, membuat para pohon terbangun dari keputusasaan mereka.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?!” Seorang teman dari ujung berteriak kencang mengalahkan suara angin yang menderu kencang di tanah lapang
“Aku memiliki kalian, saudara saudaraku! Dan kita akan bangkit bersama! Kita akan melakukan sebuah rencana yang menyadarkan manusia bahwa kita bukanlah barang mati, kita bukan hiasan! Kita hidup!!” Nafasnya terengah-engah mengucapkan kata demi kata yang sangat ingin ucapkan sejak dulu.
“Manusia harus tahu bahwa kita bukan hiasan kota” Kali ini ia hanya menggugam. Namun, angin membawa gugamannya ke setiap pohon yang terpasung kayu.
“Kita hidup, dan manusia harus tahu itu.”