Pages

Saturday, December 30, 2017

Dan Tak Perlu Engkau Bersikap Inferior

       Pekerjaan harianku adalah seorang pegawai biasa di perusahaan biasa yang menganggap dirinya luar biasa. Perusahaan yang berkiblat pada Jepang, memiliki etos kerja Jepang tetapi berkesejahteraan Indonesia. Panjang dan ribet sekali bukan. Setiap tahun pemiliknya selalu memberikan pengarahan yang sama kepada kami para pegawainya, bertujuan untuk memperkuat fondasi dasar perusahaan. Dan pengarahan itu selalu membahas Jangan bersikap Inferior terhadap negara lain. Dan kami semua mengernyit. Baiklah saya ralat, tidak semua. Tapi hanya beberapa dari kami yang mengernyit. Karena posisi kepala yang harus selalu fokus ke depan saat mendengarkan pengarahan tersebut, tentu saja saya tidak terlalu tahu mengenai teman yang sepemikiran atau yang setuju dengan pernyataan Sang Pemimpin.
Beliau yang notabene lebih lama hidup di Jepang mengatakan, "Saya sudah 12 tahun hidup dan bekerja di Jepang. Jadi, saya lebih tahu tentang Jepang daripada Indonesia. Mungkin Anda yang berada di sini lebih mengerti tentang Indonesia daripada saya." Dan bila anda melihat wajah saya saat itu, mungkin anda akan tertawa karena wajah Sang Pesinetron telah lahir pada hari itu. Andaikan saat itu sudah ada tiktok dan meme komik, pasti saat ini saya sudah viral.
        Pengarahan tersebut mengarahkan kita untuk selalu bersikap optimis dan tidak bersikap inferior terhadap negara lain, khususnya Jepang. Dan sekali lagi saya bingung, "Apa yang harus di inferior kan? Mengapa saya harus bersikap inferior?" Itulah pertanyaan yang berkelebat di otak saya selama pengarahan berlangsung. Karena sejujurnya, saya merasa bangga akan diri saya sendiri tapi tidak sampai tahap sombong tentunya. Merasa kagum dengan kemajuan negara lain itu diperbolehkan. Normal. Tapi merasa bahwa dirinya kecil di depan negara lain tanpa alasan yang jelas, itu sangat membingungkan. Saya mengakui alasan kekaguman itu cukup jelas, namun jiwa saya memberontak saat Indonesia tidak memiliki harga diri sedikitpun di hati rakyatnya. Terutama warga negara yang sudah terlalu lama di tinggal di negara orang. Tidak semua tentunya.
         Sang pemimpin mengajukan pertanyaan yang lagi-lagi sangat menarik, "Sebutkan satu nama negara dan kebanggaan anda terhadap negara tersebut?" Hampir seluruh teman saya mengacungkan tangan dan menyebutkan nama suatu negara dengan kebanggaan yang entah saya tidak mengerti atau tidak pernah mendengarnya. Hingga sayapun tergelitik untuk mengacungkan tangan dan menjawab "Indonesia dan saya bangga dengan nasi uduknya." Seluruh pegawai tertawa sedangkan pemimpin kami? Tidak terlalu peduli bahkan terkesan tidak suka.
         Akhirnya hak libur kami diberikan setelah pengarahan selesai. Sebenarnya cerita ini seperti tugas pelajaran bahasa indonesia, menulis karangan mengenai liburan sekolah. Kembali lagi mengenai liburan saya kali ini. Tahun ini saya menghabiskan liburan kerja sebagai driver go-send. Tentu anda tahu dengan istilah itu, karena segala yang berhubungan dengan go menjadi amat sangat viral dan In. Dan disinilah saya, seorang wanita yang mengisi waktu liburannya sebagai driver pengantar barang belaja online. Jadi, untuk kamu yang sering belanja online. Saya berterima kasih karena kalian berjasa dalam memberikan uang saku selama liburan saya berlangsung.
          Suatu hari saya mengantarkan sebuah paket kecil berukuran sekitar 20 cm ke daerah Jakarta yang pemukimannya agak sempit dan kumuh. Saat melihat rumahnya yang kecil dengan gangnya yang sangat sempit, tentu saya tidak mengharapkan tips. Sejujurnya saya hanyalah manusia biasa yang terkadang tetap mengharapkan tips dari customernya. Hahaha. Tapi tenang saja wahai para customer, saya tidak akan mengeluh jika Anda tidak memberikan tips. Setelah menyerahkan paket tersebut, tiba-tiba penerima paket tersebut menghampiri saya dan memberikan beberapa lembar uang dua ribuan lusuh sambil berkata "Mbak, ini buat jajan." Dan saya hanya terperangah. Karena saya sama sekali tidak mengharapkan tips dari mereka. Melihat kondisi rumahnya saja, hati saya sudah berdesir.
         Sepanjang perjalanan ke masjid untuk sholat ashar. Pikiran saya terus berputar, "Keren banget, dia orang susah. Tapi dia masih mau berbagi dengan gw." Kekaguman tersebut terus terngiang hingga akhirnya saya memutuskan memasukkan uang tips berjumlah enam ribu itu ke kotak amal masjid. Salah satu teman pernah berkata "Suatu hal biasa saat kamu mempunyai uang banyak dan kamu berinfaq. Tapi akan menjadi hal yang luar biasa saat kondisimu sedang susah atau di bawah, tapi kamu masih mau berbagi atau berinfaq." Saat itu saya hanya terperangah dengan ucapan itu. Namun, hari ini saya lebih terkagum-kagum dengan pelaksanaan sesungguhnya. Sungguh, berbagi itu indah dan bisa menjadi obat hati, baik untuk si pemberi maupun si penerima. Dan jika ada yang berpendapat bahwa berbagi adalah hal yang dapat menular. Hari ini saya menyetujuinya. Karena beberapa lembar uang itu mengalir kembali ke kotak infaq.
           Dan muncullah kembali pertanyaan yang berkaitan dengan kata inferior. Apakah customer  merasa inferior saat hendak memberikan uang ribuan kucel pada saya? Apakah dia juga pusing memikirkan, "Ah cuma enam ribu. Sedikit. Malu ngasihnya." Terlepas dari pikiran itu, customer itu tetap memberikan uang itu pada saya. Ia berbagi dengan saya dengan tatapan penuh bangga. Hari itu bertambahlah ilmu saya sebagai manusia. Mungkin mereka berfikir, "Untuk apa kamu cape bekerja seperti itu. Padahal gajimu sudah lebih dari cukup?" Karena dan amat sangat karena belum tentu saya bisa belajar tentang hal ini di Jepang, Belanda atau negara lainnya. Saya cukup belajar di pemukiman kecil dan sumpek. Dan itu belum tentu bisa ditemukan disana. Dimanapun kita, seharusnya akan menjadi tempat pembelajaran yang baik bagi kita. Tergantung kita, mau atau tidak.
            Tidak perlu kamu merasa inferior karena kondisi, gaji atau rumahmu yang lebih kecil dari orang lain. Karena kita bergeraklah untuk diri kita sendiri bukan untuk mendapatkan pengakuan orang lain. Pengakuan dari orang lain itu penting. Tapi bagaimana orang lain bisa mengakuimu sedangkan kamu belum mengakui dirimu sendiri.
              Menjadi hebat tidaklah harus dengan berapa lama kamu tinggal di negara maju. Menjadi hebat adalah bagaimana kamu masih mau belajar dari siapapun, entah dia yang berada di bawahmu atau mereka yang berada di atasmu.Tentunya dengan rendah hati, bukan rendah diri.

No comments:

Post a Comment