LALU MENGAPA JIKA KAMI TIDAK
PERAWAN
“Aku
sudah tidak perawan sejak TK. Kakekku membawaku dan membiarkan teman temannya
menyentuh dan merampas apa yang tidak kumengerti saat itu.”
Ia
tersenyum mengakui kenyataan pahit itu. Masih kuingat, hiruk pikuknya Pasar
Senin saat itu. Di tengah panas teriknya siang. Seakan memiliki dunia sendiri,
kami termenung di tengah kerumunan orang orang yang hilir mudik dengan berbagai
kesibukan mereka.
Aku
menggenggam tangan sahabatku erat.
“Lalu
apa yang kau rasakan saat ini?”
Ia
tersenyum kembali, tapi kali ini tersenyum sinis
“Mungkin
setelah ini kau akan menasehatiku dengan mengatakan ‘sudahlah tidak perlu
difikirkan kembali. Kami akan menerimamu apa adanya.’ Bukankah begitu?” Ia
menatapku tajam, seakan akan aku tidak memahami penderitaannya.
“Karena
kau tidak merasakan apa yang aku rasakan.” Ia melanjutkan. Menghakimi dengan
rasa sakit yang ia kubur selama bertahun tahun.
“Lalu
bagaimana denganku, sahabatku?” Pandanganku menerawang jauh. Ia memandangku tak
mengerti
“Mereka
juga melakukan hal yang sama padaku.“
“Maksudmu
sama denganku?” Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan itu
“Aku
tidak tahu mengapa Tuhan mempertemukan kita berdua, dengan masa lalu yang sama.
Tapi . . . .”
Ia
masih menatapku tak percaya
“Mungkin
Tuhan ingin kita berbagi, dan ingin kita pulih dari rasa sakit yang kita pendam
selama bertahun tahun.” Aku menatapnya teduh, mengiklaskan apa yang terjadi
peristiwa saat aku kelas 4 SD
“Apakah
kau tidak merasakan sakit itu? Atau saat ini kau sudah mati rasa?”
Kaget
menyerangku seketika. “Apakah aku iklas atau benar benar memang mati rasa?”
tanyaku pada diri sendiri. Namun, mengapa hati ini tidak terasa berat seperti
dahulu. Mengapa saat ini aku hanya merasa
. . . .
“Istimewa”
“Ha?”
ia memandangku tak mengerti atas sepenggal kata yang barusan kuucapkan
“Aku
hanya merasa istimewa karena Tuhan memberikan kisah hidup yang berbeda dengan
yang lain.” Angin panas menerpa saat kami saling memandang
“Tidak
munafik, memang sangat sakit saat aku menyadari bahwa hal itu terjadi padaku,
oleh 5 orang teman-temanku sendiri. Tapi aku yakin bahwa Tuhan percaya aku bisa
dan istimewa. Karena Tuhan tidak akan memberikan sesuatu padaku tanpa alasan
dan tujuan. Mungkin aku yang tak sabar dengan menanyakan ‘Kenapa Engkau berikan
ujian ini padaku, Tuhanku?’ Padahal Tuhan sudah merencanakan hal yang lebih
indah dan perfect dari rencana kita. Aku percaya Allah adalah perencana
terbaik”
“Lalu
bagaimana dengan orang sekitarmu. Apakah mereka akan menerima keadaanmu,
keadaan kita?”
Aku
menghembuskan nafas panjang
“Apakah
hanya itu tolak ukur bahwa kita masih perawan. Aku tidak peduli dengan
pandangan mereka. Bukan aku yang menginginkan kejadian itu. Toh . . . .”
Aku
memandangnya tajanm
“Bukan
hanya vagina yang menentukan perawan atau tidaknya kita. Tapi perilaku dan
tingkah laku kita lah yang menggambarkan apakah kita seorang perawan ataukah
kita seorang pelacur.”
Aku
menarik nafas lega. Bahagia atas keiklasan yang telah kurasakan. Dan untuk
pertama kalinya aku berbagi secara lisan terhadap orang lain. Mengakui
keberadaanku sendiri.
Aku
memeluk tubuh sahabatku erat
“Terimalah
dan akuilah keberadaan diri kita. Kondisi, fisik maupun masa lalu kita. Saat
kau sudah menerima dirimu sendiri, kau akan merasakan keiklasan dan ketenangan
dalam hatimu, sahabatku . . . .”
No comments:
Post a Comment