Pages

Monday, February 11, 2013

Tuhan Melihat



TUHAN MELIHAT

“Sakit?”
Darah menetes.
Kukompres lebam biru yang mulai membengkak itu perlahan, berharap tak menambah sakit yang dirasa.
“Kapan?”
Hanya senyuman yang menjawab pertanyaanku. Senyuman yang dipaksakan. Nafasku terhembus pelan.
“Istirahatlah…”
Dipejamkan mata sembab itu. Mungkin mencoba menikmati segala perih, sakit dan tangis yang dirasa. Dadaku semakin sesak melihatnya dan aku yakin sebentar lagi air mata ini akan jatuh tak terbendung. Kutinggalkan ibu yang menikmati kesendiriannya. Kesendirian yang suatu saat mungkin akan menggerogoti jiwanya,
Dan jiwaku

ooo

 “Dari mana?”
Tajam matanya menusuk, seakan menjawab “Apa urusanmu?”
“Dari mana, Brengsek?”
“Ulangi lagi!” Matanya mendelik menakutkan.
Hening.
“Darimana, B-R-E-N-G-S-E-K!!”
“Jaga mulutmu! Ingat aku ini siapa?!” Teriaknya menunjuk mukaku. Aku tersenyum sinis.
“Ouh, memangnya kau siapa?”
“PLAK!!!”
Aku mendengus, menertawakan tindakan yang sama sekali tidak sesuai dengan kata-kata yang dulu pernah diucapkan. Aku menoleh, menawarkan pipi yang belum ditamparnya. Tapi Ia mundur perlahan, kemarahan menyusut dimatanya, seakan menyesali apa yang telah diperbuat.
Tapi…
Saat ini pentingkah bagiku ia menyesal atau tidak?
Aku hanya tahu bahwa ia telah berubah. Bukan lagi sosok yang kusayangi seperti dulu. Bukan juga orang yang berusaha menjaga dan menghiburku.
Ia berubah.
Dan bukan hanya aku…
Ia pun menyadari itu.

ooo

“Kau merokok?!”
Apa pedulimu? Kataku dalam hati. Tapi pada kenyataannya, aku hanya menantang matanya, seolah berkata “Ayo, kita hancurkan bersama hidup yang sudah hancur ini!”
“Mau jadi apa kamu, hah?! Pelacur?!” Mataku berbinar mendapat solusi.
“Benar… …”
“Seperti pelacurmu itu … Bagaimana?” Aku tertawa menghembuskan asap rokok tepat di wajahnya.
“K a m u …”
Kata-katanya menggantung. Tapi sayangnya aku sudah tidak peduli dengan itu. Toh kehidupanku sudah hancur, lalu untuk apa lagi ngoyo untuk sekedar hidup.
Aku melangkah menjauh darinya. Dan tiba-tiba teringat sesuatu yang penting.
“Tolong sampaikan padaku kalau ada laki-laki bejat yang ingin meniduriku…”
“Atau…” Kupalingkan wajah padanya, menantang untuk kesekian kalinya.
“Kau ingin mencobaku?”
Tiba-tiba nafasku sesak saat kusadari tangannya sudah mencekikku. Kurasakan nafasnya memburu karena marah. Aku berusaha mencari matanya. Mata orang yang begitu tega melakukan hal ini pada wanita. Walau aku sudah mengira.
“Sejak kapan kamu berani padaku?!” Aku tersenyum mendengar pertanyaan tolol itu, dan ia semakin marah karena ulahku.
“Kenapa tertawa! Ayo jawab!”
“Ukh…” Tangannya semakin mencengkram kuat, menuntut jawaban dariku.
“AYO JAWAB!! SEJAK KAPAN KAU MULAI MELAWANKU!!! SEJAK KAPAN!!!”
Sakit yang kurasa tiba-tiba hilang, berganti dengan sakit yang lama membusuk di hati. Sakit yang mengerak menjadi benci tak terkira.
“Se..ja..k  kau  khi..a..nati  i..bu..ku!”
“Se..ja..k  kau  se..lingkuh  de..ngan  wa..ni..ta  itu!”
“Se..ja..k  kau  sa..ki..ti  K E L U A R G A K U!!” Kutekankan semua kata, sakit, dan rasa padanya.
Kini aku tertawa diantara sengalku. Tertawa tanpa tahu apa yang kutertawakan, tertawa tanpa merasa ada yang lucu.
Air mata menetes dari matanya. Mungkin ia juga merasakan sakit yag sama karena anak yang selama ini ia banggakan di hadapan umatnya, membangkang tak karuan. Tapi semua tidak akan terbukti saat tangannya semakin kuat mencengkeram.
“Bu..nuh  a..ku…” Ucapku terbata-bata.
“BAPAK!!!” Seseorang berteriak dan terpogoh-pogoh menghampiri kami.
“Astagfirullah! Apa yang kau lakukan!? Lepaskan dia!! Dia anakmu! Lepaskan, Pak!!” Isaknya kalap sambil mencoba melepaskan cengkeram tangan bapak.
Aku tertawa melihat usaha wanita itu. Bukankah menarik, bu? Kataku dalam hati. Hidup kita akan semakin berwarna, Lelaki yang dikenal sebagai kyai ini akan membunuh anak kandungnya dengan tangannya sendiri.
“Lepaskan kataku, Pak! Kesalahan apa yang ia perbuat sampai kau murka seperti ini?! Sudah cukup kau sakiti kami! Kau boleh memukulku semaumu seperti yang kau lakukan setiap hari, tapi tolong...jangan sakiti anakmu!!” Dipukulnya bapak dengan sekuat tenaga, kemudian meraung keras saat menyadari bahwa usahanya sia-sia.
Aku tidak tahu sampai hitungan berapa detik lagi akan bertahan. Aku hanya melihat ibu bersimpuh memandangku.
“Aku memohon padamu, lepaskan dia ..” Sayup sayup terdengar suara ibu yang memelas lemah, menjatuhkan semua harga diri yang tersisa. Suara itu bagai tembang pengantar tidur panjang untukku. Dan untuk pertama kalinya, air mataku menetes. Setelah lama tertahan, setelah lama mengering dan hampir mati.
“Aku sa…yang  ibu. Ma…afkan aku” ucapku lemah
“TIDAAKKK!!” Ibu tersujud lemas. Kini ia tak meraung lagi, hanya terisak perlahan.
“AKU BERSUMPAH!! HANCUR KAU UNTUK SEMUA YANG KAU LAKUKAN PADAKU DAN ANAKKU!!!!” Jeritnya memenuhi rongga nafasku. Orang di hadapanku tertawa dan mendesis tipis.
“Doa orang sepertimu tak akan pernah didengar Tuhan...”
Sombongnya engkau wahai ayah tercinta. Bahkan di hadapanku yang kini tak bisa merasakan jemariku lagi. Sombongnya engkau wahai ayah tercinta, bahkan di hadapan darah daging yang tak sulit menghirup udara kembali.
“Aku ... sa..yang ... a...ya...h ku...” desisku untuk terakhir kalinya. Dan matanya terhenyak dengan senyumku yang dulu.
 “BUKKK!!!” Darah menetes diantara keping guci yang berserakan di lantai. Tubuh bapak rubuh. Di belakangnya berdiri wanita dengan sosok angkuh dan kokoh. Ibuku. Lalu semua terasa
Hening.

ooo

“Sudah 2 bulan … Bagaimana kabarnya?” Hembusan nafas terdengar pelan dan ia memandangku dalam. Kami terduduk di pantai, menikmati kesunyian dan ketenangan yang lama dirindukan.
“Tidak tahu dan tidak ingin tahu…”
“Yang terpenting hanya kau…” Aku memeluk Ibu, manja.
“Apakah sumpah yang Ibu ucapkan benar-benar akan terjadi?” Tanyaku menerawang, entah bertanya pada angin, wanita di sampingku atau Tuhan.
“Ibu tidak tahu, tapi percaya…” Kupandang Ia dengan segala tanda tanya dan keraguan besar.
“Ibu hanya percaya bahwa siapapun masih dalam proses pembelajaran dalam hidupnya. Entah ia kyai seperti ayahamu atau kita berdua sebagai orang yang dikhianati. Maka dari itu, Ibu pun percaya bahwa ia juga akan mendapat pembelajaran karena perbuatannya itu. Entah dalam bentuk apapun.” Matanya bermain dengan langit, menerawang bebas dengan segala keyakinannya.
Kami terdiam lama, menikmati apa yang yang telah diberi.
“Kenapa Ibu bisa sepercaya itu?” tanyaku tiba-tiba saat kami masih terpaku dengan segalanya.
“Karena ALLAH MELIHAT.”

No comments:

Post a Comment