TUHAN MELIHAT
“Sakit?”
Darah
menetes.
Kukompres
lebam biru yang mulai membengkak itu perlahan, berharap tak menambah sakit yang
dirasa.
“Kapan?”
Hanya
senyuman yang menjawab pertanyaanku. Senyuman yang dipaksakan. Nafasku
terhembus pelan.
“Istirahatlah…”
Dipejamkan
mata sembab itu. Mungkin mencoba menikmati segala perih, sakit dan tangis yang
dirasa. Dadaku semakin sesak melihatnya dan aku yakin sebentar lagi air mata
ini akan jatuh tak terbendung. Kutinggalkan ibu yang menikmati kesendiriannya.
Kesendirian yang suatu saat mungkin akan menggerogoti jiwanya,
…
Dan jiwaku
ooo
“Dari
mana?”
Tajam matanya
menusuk, seakan menjawab “Apa urusanmu?”
“Dari mana,
Brengsek?”
“Ulangi
lagi!” Matanya mendelik menakutkan.
Hening.
“Darimana,
B-R-E-N-G-S-E-K!!”
“Jaga
mulutmu! Ingat aku ini siapa?!” Teriaknya menunjuk mukaku. Aku tersenyum sinis.
“Ouh,
memangnya kau siapa?”
“PLAK!!!”
Aku
mendengus, menertawakan tindakan yang sama sekali tidak sesuai dengan kata-kata
yang dulu pernah diucapkan. Aku menoleh, menawarkan pipi yang belum
ditamparnya. Tapi Ia mundur perlahan, kemarahan menyusut dimatanya, seakan
menyesali apa yang telah diperbuat.
Tapi…
Saat ini
pentingkah bagiku ia menyesal atau tidak?
Aku hanya
tahu bahwa ia telah berubah. Bukan lagi sosok yang kusayangi seperti dulu.
Bukan juga orang yang berusaha menjaga dan menghiburku.
Ia berubah.
Dan bukan
hanya aku…
Ia pun
menyadari itu.
ooo
“Kau
merokok?!”
Apa pedulimu?
Kataku dalam hati. Tapi pada kenyataannya, aku hanya menantang matanya, seolah
berkata “Ayo, kita hancurkan bersama hidup yang sudah hancur ini!”
“Mau jadi apa
kamu, hah?! Pelacur?!” Mataku berbinar mendapat solusi.
“Benar… …”
“Seperti
pelacurmu itu … Bagaimana?” Aku tertawa menghembuskan asap rokok tepat di
wajahnya.
“K a m u …”
Kata-katanya
menggantung. Tapi sayangnya aku sudah tidak peduli dengan itu. Toh kehidupanku
sudah hancur, lalu untuk apa lagi ngoyo untuk sekedar hidup.
Aku melangkah
menjauh darinya. Dan tiba-tiba teringat sesuatu yang penting.
“Tolong
sampaikan padaku kalau ada laki-laki bejat yang ingin meniduriku…”
“Atau…”
Kupalingkan wajah padanya, menantang untuk kesekian kalinya.
“Kau ingin
mencobaku?”
…
Tiba-tiba
nafasku sesak saat kusadari tangannya sudah mencekikku. Kurasakan nafasnya
memburu karena marah. Aku berusaha mencari matanya. Mata orang yang begitu tega
melakukan hal ini pada wanita. Walau aku sudah mengira.
“Sejak kapan
kamu berani padaku?!” Aku tersenyum mendengar pertanyaan tolol itu, dan ia
semakin marah karena ulahku.
“Kenapa
tertawa! Ayo jawab!”
“Ukh…”
Tangannya semakin mencengkram kuat, menuntut jawaban dariku.
“AYO JAWAB!!
SEJAK KAPAN KAU MULAI MELAWANKU!!! SEJAK KAPAN!!!”
Sakit yang
kurasa tiba-tiba hilang, berganti dengan sakit yang lama membusuk di hati.
Sakit yang mengerak menjadi benci tak terkira.
“Se..ja..k
kau khi..a..nati i..bu..ku!”
“Se..ja..k
kau se..lingkuh de..ngan wa..ni..ta itu!”
“Se..ja..k
kau sa..ki..ti K E L U A R G A K U!!” Kutekankan semua kata, sakit,
dan rasa padanya.
Kini aku
tertawa diantara sengalku. Tertawa tanpa tahu apa yang kutertawakan, tertawa
tanpa merasa ada yang lucu.
Air mata
menetes dari matanya. Mungkin ia juga merasakan sakit yag sama karena anak yang
selama ini ia banggakan di hadapan umatnya, membangkang tak karuan. Tapi semua
tidak akan terbukti saat tangannya semakin kuat mencengkeram.
“Bu..nuh
a..ku…” Ucapku terbata-bata.
“BAPAK!!!”
Seseorang berteriak dan terpogoh-pogoh menghampiri kami.
“Astagfirullah!
Apa yang kau lakukan!? Lepaskan dia!! Dia anakmu! Lepaskan, Pak!!” Isaknya
kalap sambil mencoba melepaskan cengkeram tangan bapak.
Aku tertawa
melihat usaha wanita itu. Bukankah menarik, bu? Kataku dalam hati. Hidup kita
akan semakin berwarna, Lelaki yang dikenal sebagai kyai ini akan membunuh anak
kandungnya dengan tangannya sendiri.
“Lepaskan kataku,
Pak! Kesalahan apa yang ia perbuat sampai kau murka seperti ini?! Sudah cukup
kau sakiti kami! Kau boleh memukulku semaumu seperti yang kau lakukan setiap
hari, tapi tolong...jangan sakiti anakmu!!” Dipukulnya bapak dengan sekuat
tenaga, kemudian meraung keras saat menyadari bahwa usahanya sia-sia.
Aku tidak
tahu sampai hitungan berapa detik lagi akan bertahan. Aku hanya melihat ibu
bersimpuh memandangku.
“Aku memohon
padamu, lepaskan dia ..” Sayup sayup terdengar suara ibu yang memelas lemah,
menjatuhkan semua harga diri yang tersisa. Suara itu bagai tembang pengantar
tidur panjang untukku. Dan untuk pertama kalinya, air mataku menetes. Setelah
lama tertahan, setelah lama mengering dan hampir mati.
“Aku
sa…yang ibu. Ma…afkan aku” ucapku lemah
“TIDAAKKK!!”
Ibu tersujud lemas. Kini ia tak meraung lagi, hanya terisak perlahan.
“AKU
BERSUMPAH!! HANCUR KAU UNTUK SEMUA YANG KAU LAKUKAN PADAKU DAN ANAKKU!!!!”
Jeritnya memenuhi rongga nafasku. Orang di hadapanku tertawa dan mendesis
tipis.
“Doa orang
sepertimu tak akan pernah didengar Tuhan...”
Sombongnya
engkau wahai ayah tercinta. Bahkan di hadapanku yang kini tak bisa merasakan
jemariku lagi. Sombongnya engkau wahai ayah tercinta, bahkan di hadapan darah
daging yang tak sulit menghirup udara kembali.
“Aku ...
sa..yang ... a...ya...h ku...” desisku untuk terakhir kalinya. Dan matanya
terhenyak dengan senyumku yang dulu.
“BUKKK!!!”
Darah menetes diantara keping guci yang berserakan di lantai. Tubuh bapak
rubuh. Di belakangnya berdiri wanita dengan sosok angkuh dan kokoh. Ibuku. Lalu
semua terasa
…
Hening.
ooo
“Sudah 2
bulan … Bagaimana kabarnya?” Hembusan nafas terdengar pelan dan ia memandangku
dalam. Kami terduduk di pantai, menikmati kesunyian dan ketenangan yang lama
dirindukan.
“Tidak tahu
dan tidak ingin tahu…”
“Yang
terpenting hanya kau…” Aku memeluk Ibu, manja.
“Apakah
sumpah yang Ibu ucapkan benar-benar akan terjadi?” Tanyaku menerawang, entah
bertanya pada angin, wanita di sampingku atau Tuhan.
“Ibu tidak
tahu, tapi percaya…” Kupandang Ia dengan segala tanda tanya dan keraguan besar.
“Ibu hanya
percaya bahwa siapapun masih dalam proses pembelajaran dalam hidupnya. Entah ia
kyai seperti ayahamu atau kita berdua sebagai orang yang dikhianati. Maka dari
itu, Ibu pun percaya bahwa ia juga akan mendapat pembelajaran karena
perbuatannya itu. Entah dalam bentuk apapun.” Matanya bermain dengan langit,
menerawang bebas dengan segala keyakinannya.
Kami terdiam
lama, menikmati apa yang yang telah diberi.
“Kenapa Ibu
bisa sepercaya itu?” tanyaku tiba-tiba saat kami masih terpaku dengan
segalanya.
“Karena ALLAH
MELIHAT.”